Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pandangan atau Masukan terkait RUU tentang Pertanahan — Komisi 2 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pakar Hukum Agraria (Suriyaman Mustari, Nurhasan Ismail, dan Kurnia Warman)

Tanggal Rapat: 17 Jul 2018, Ditulis Tanggal: 13 Aug 2020,
Komisi/AKD: Komisi 2 , Mitra Kerja: Pakar Hukum Agraria (Suriyaman Mustari, Nurhasan Ismail, dan Kurnia Warman)

Pada 19 Juli 2018, Komisi 2 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pakar Hukum Agraria (Suriyaman Mustari, Nurhasan Ismail, dan Kurnia Warman) mengenai Pandangan atau Masukan terkait RUU tentang Pertanahan. RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Nihayatul Wafiroh dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dapil Jawa Timur 3 pada pukul WIB. (ilustrasi: sijoritoday.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pakar Hukum Agraria (Suriyaman Mustari, Nurhasan Ismail, dan Kurnia Warman)

Suriyaman Mustari

  • Quo Vadis RUU tentang Pertanahan
    • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memberi ruang untuk membuat rancangan baru selain Undang-Undang tentang Pokok Agraria (UUPA).
  • Implikasi RUU tentang Pertanahan dalam Mereposisi Undang-Undang tentang Pokok Agraria
    • Kehadiran RUU tentang Pertanahan sebagai nama baru dikhawatirkan akan menggantikan atau menghilangkan keberadaan Undang-Undang tentang Pokok Agraria (Pasal 16-53 mengatur tentang pertanahan).
    • Kehadiran RUU tentang Pertanahan akan mengembalikan khitah Undang-Undang tentang Pokok Agraria sebagai Lex Generalis peraturan perundang-undangan dengan kata lain aturan yang lain adalah melengkapi kebijakan pertanahan yang belum diatur sebagaimana amanat dalam UUPA.
  • Posisi RUU tentang Pertanahan
    • Hukum Pertanahan adalah sub hukum dari Hukum Keagrariaan.
    • UUPA sebagai unifikasi hukum pertanahan dan mengakhiri dualisme Hukum Barat dan Hukum Adat.
    • Posisi RUU tentang Pertanahan semestinya mengakhiri dualisme hukum UUPA dan Hukum Adat.
    • Seyogyanya RUU tentang Pertanahan hanya mengatur tentang hal-hal yang belum jelas dalam UUPA, terutama terkait dengan Pasal 3, Pasal 5, Pasal 21, dan Pasal 53 dalam UUPA.
  • Hal-Hal yang Mengemuka dalam Pembahasan RUU tentang Pertanahan
    • Stelsel tanah khususnya terkait dengan penerbitan sertipikat tanah yang tidak dapat diganggu gugat selama kurun waktu tertentu.
    • Kedudukan tanah terkait hak tanah ulayat dan tanah adat.
    • Urgensi pengadilan pertanahan.
  • Hal-Hal Teknis dalam Draf RUU tentang Pertanahan
    • Tanah sebagai Sumber Daya Alam (SDA) yang langka sebaiknya sebagai modal dan kebutuhan dasar.
    • Hak Menguasai Negara (HMN) oleh putusan MK tahun 2012, menafsirkan menjadi beleid, regelen, besturen, loezie houden en beheren dalam naskah tidak menyebutkan kebijakan.
    • Draf RUU tentang Pertanahan menyebutkan melengkapi UUPA. Akan tetapi, justru membuat norma baru, mengurai kembali Pasal 21-45 UUPA, dan mengubah pengertian dan posisi hak pakai dengan pengertian yang baru; berarti bertentangan.
    • Urgensi penempatan Pasal 18b UUD 1945 pada bagian konsideran mengingat tidak dijelaskan dalam penjelasan umum, sehingga menimbulkan tanda tanya terkait urgensinya.
  • Tanah Ulayat dan Tanah Adat
    • Tanah Ulayat: Pasal 3 UUPA Hak Ulayat (hak kolektif) atau hak yang serupa dari masyarakat hukum adat diakui sepanjang dalam kenyataannya masih ada.
    • Pengelolaannya secara bersama-sama (subjek pendukung haknya adalah masyarakat hukum adat).
    • Tanah Adat: tanah yang dipersonifikasikan sama dengan hak individual.
  • Kriteria Hak Ulayat
    • Adanya tatanan kelompok yang bersifat tetap
    • Adanya kekuasaan (pengusaha)
    • Adanya kekayaan materil dan non materil
  • Kontroversi Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor IX/2015 - Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor X/2016
    • Menyamakan subjek hukum hak komunal antara “masyarakat hukum adat” dan “masyarakat yang berada di kawasan tertentu”.
    • Tentang hak komunal: yang mempersepsikan secara keliru tentang “hak ulayat sudah pasti hak komunal tetapi hak komunal belum tentu hak ulayat”.
  • Hirarki Penguasaan Tanah
    • Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat 1-3 UUPA)
    • Hak Menguasai Negara (Pasal 2 UUPA)
    • Hak Ulayat (Pasal 3 UUPA)
    • Hak Perseorangan
  • Pengadilan Pertanahan
    • Sengketa pertanahan selama ini dianggap tidak memenuhi rasa keadilan.
    • Menuntaskan sengketa tanah melalui peradilan khusus pertanahan.
    • Proses peradilan memakan waktu yang lama sehingga peradilan pertanahan diharapkan dapat menjalankan fungsinya dalam melakukan persidangan dan pemeriksaan tentang sengketa pertanahan.
    • Implikasi Pengadilan Pertanahan terhadap susunan peradilan.
    • Kedudukan Pengadilan Pertanahan dalam sistem dan susunan peradilan negara.
    • Kompetensi absolut Pengadilan Pertanahan; hanya hak keperdataan atau hanya hukum administrasi negara atau bahkan juga pidana pertanahan.
    • Kompetensi relatif Pengadilan Pertanahan.

Nurhasan Ismail

  • Pendaftaran Tanah
    • Pembuatan akta peralihan dibuat dengan akta Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam doktrin hukum yang ada, pejabat yang terlibat dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah sebagai objeknya hanya diserahkan kepada PPAT, sedangkan Notaris diberikan kewenangan membuat akta perjanjian dan peralihan yang objeknya bukan hak atas tanah.
    • Sertipikat yang sudah diterbitkan sebagai alat bukti yang kuat dan setelah jangka waktu tertentu berubah menjadi alat bukti yang mutlak.
    • Perubahan fungsi sertipikat sebagai alat bukti yang kuat pada saat diterbitkan terbuka untuk dilakukan menjadi alat bukti yang mutlak dalam perjalanan waktu tertentu. Namun demikian, kemungkinan perubahan tersebut harus didahului dengan perubahan stelsel pendaftaran dari sistem negatif menjadi sistem positif dan perubahan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Tanpa perubahan-perubahan tersebut, maka tidak mungkin Undang-Undang tentang Pertanahan membuka kemungkinan adanya perubahan fungsi sertipikat.
  • Batas Luasan Hak Guna Usaha (HGU) bagi Perusahaan Swasta dan BUMN
    • Terdapat inkonsistensi ketentuan internal dalam Pasal 27 ayat 2 dengan ayat 4, sedangkan ayat 3 mengandung potensi multitafsir.
    • Terdapat model penentuan luasan HGU bagi perusahaan (badan hukum) yaitu model dengan menggunakan satuan angka yang tegas seperti yang dianut dalam RUU ini dengan batasan yang moderat yaitu tidak terlalu rendah namun tidak terlalu tinggi. Hal ini harus diikuti dengan ketentuan yang memungkinkan perusahaan menambah luas jika seluruh tanah yang sudah diberikan sudah digunakan untuk kegiatan yang sudah ditentukan.
  • Mengenai cara memperoleh hak atas tanah menurut ketentuan umum dipertegas dalam RUU tentang Pertanahan karena hal ini amanah dari ketentuan Pasal 22 ayat 2 UUPA. Cara memperoleh hak atas tanah menurut hukum adat itu terjadi secara bertahap yaitu dimulai dari pembukaan tanah atau penguasaan tanah yang dikuasai langsung negara, kemudian tercipta Hak Utama, jika terus terjadi penguasaan dan pemanfaatan akan tercipta Hak Pakai, dan jika terus berlanjut tanpa putus penguasaan dan pemanfaatan akan tercipta Hak Milik.
  • Pengaturan Hak Ulayat dalam RUU tentang Pertanahan ini tidak lagi mengulang yang sudah terdapat dalam UUPA dan berbagai undang-undang sektoral lainnya yaitu mengakui dan menghormati namun sudah melangkah pada norma yang memerintahkan untuk dilakukan proses penetapan keberadaan hak ulayat dengan memenuhi syarat dan prosedur yang ditetapkan dalam RUU tentang Pertanahan.
  • Antara tanah (bekas) hak adat dengan hak atas tanah yang diberikan berdasarkan Keputusan Pemberian Hak seperti HGU tidak boleh didikhotomikan karena status keduanya sama sebagai hak atas tanah yang diakui oleh negara.
  • Hak Pengelolaan Tanah Pertanian; perlu adanya penetapan tanah yang diperuntukkan bagi kegiatan pertanian dan harus dipertahankan sebagai bagian dari strategi menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan.

Kurnia Warman

  • Tujuan UUPA sebagai undang-undang pokok
    • Dasar Hukum Agraria Nasional: meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur
    • Kesatuan Hukum Pertanahan: meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
    • Kepastian Hukum Hak: meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
  • Masalah Pertanahan
    • Walaupun UUPA sudah fokus mengatur pertanahan, dan bahkan telah dilengkapi beberapa perundang-undangan, namun masalah pertanahan tetap muncul; konflik dan sengketa pertanahan.
    • Ketimpangan penguasaan tanah: 52% tanah dikuasai 0,2% orang; 84% petani menguasai tanah kurang dari 1 Ha, termasuk bidang kehutanan.
    • Tanah terlantar, didominasi oleh tanah korporasi berupa Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak Pengelolaan (HPL), dan izin lokasi.
    • Tumpang tindih penguasaan akibat sektoralisme pengelolaan tanah dan sumber daya alam.
    • Persoalan-persoalan lain yang menjauhkan pengelolaan tanah dari prinsip pembangunan hukum agraria, seperti:
      • Prinsip kebangsaan dan kenasionalan
      • Penguasaan tanah negara
      • HPL yang disimpangi menjadi hak keperdataan
      • Kedudukan tanah sebagai barang milik negara termasuk sertipikasi tanah negara.
      • Status hak tanah aset BUMN menjadi komersial.
      • Pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat.
      • Badan hukum sebagai pemegang hak milik.
  • Penguasaan Tanah Negara: Tanah sebagai Barang Milik Negara
    • Sejak terbentuknya BPN tahun 1988, Penguasaan Tanah Negara menjadi kabur. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara cenderung diabaikan, sehingga “Tanah Negara” (state land) menjadi “Tanah Tak Bertuan”.
    • Begitu juga tanah negara yang diperuntukkan bagi Pemerintah sebagai barang milik negara, perlu menjadi perhatian khusus dalam RUU ini.
    • Perlu diintegrasikan ke dalam RUU ini agar penyimpangan dari prinsip-prinsip Hukum Agraria Nasional dapat dikoreksi.
    • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 tentang Perbendaharaan Negara, dan Peraturan Pemerintah terkait telah memposisikan tanah sebagai milik negara (pemerintah), sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan