Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pembahasan DIM RUU KUHP — Panitia Kerja (Panja) Komisi 3 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Tim Pemerintah

Tanggal Rapat: 28 Apr 2016, Ditulis Tanggal: 26 Feb 2021,
Komisi/AKD: Komisi 3 , Mitra Kerja: Tim Pemerintah

Pada 28 April 2016, Panitia Kerja (Panja) Komisi 3 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Tim Pemerintah mengenai Pembahasan Daftar Inventaris Masalah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (DIM RUU KUHP). RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Benny dari Fraksi Partai Demokrat dapil Nusa Tenggara Timur 1 pada pukul 10:53 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: mediaindonesia.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Tim Pemerintah

Tim Pemerintah

  • Sebagaimana yang disampaikan, pada paragraf 6 mengenai korporasi, Pasal 48-52 sudah disetujui. Terkait dengan rumusan, Pemerintah menyampaikan tidak ada perubahan.
  • Pasal 53 dan 54 belum memiliki persetujuan dari Panja.
  • Pasal 48-52 tidak ada penjelasan karena dianggap sudah jelas. Sebenarnya penjelasan tidak dimasukkan di sini karena Pemerintah sudah masukan penjelasan.. Hanya saja, pertanyaannya mengenai rumusan tentang korporasi. Untuk rumusan tentang korporasi itu masih sama dengan yang lama karena Pemerintah mengalami kesulitan atas debat yang dilakukan tentang korporasi. Misalnya melakukan penganiayaan. Biasanya korporasi dikenakan sanksi berkaitan dengan lingkungan hidup. Apabila ada UU baru, maka tidak akan terkekang oleh rancangan KUHP. Jadi, Pemerintah tidak membatasi hal-halnya.
  • Tindak pidana yang harus diangkat menjadi tanggung jawab korporasi ada di Pasal 49. Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak. Jadi, tergantung pada struktur yang dirumuskan pada AD/ART korporasi tersebut.
  • Korporasi rumusannya sama dengan yang lain. Nampaknya, kesepakatan jangan sampai ada rumusan yang berbeda juga. Korporasi tidak dibatasi selama dia legal dan yang termasuk bukan badan hukum yang tidak mudah dirumuskan.
  • Alasan Pasal 49 tidak ada penjelasan adalah karena itu definisi. Jadi, tidak boleh ada penjelasan. Hal tersebut dilakukan berdasarkan ilmu perundangan yang menyatakan tidak bisa. Tapi, tidak di dalam penjelasan korporasi. Pemerintah membuatkan skema yang ringkas yang mengatakan dalam paragraf bisa menjadi subjek tindak hukum pidana. Lalu, Pasal 50 menyatakan siapa yang akan dikenakan hukuman apabila terbukti. Pengurus korporasi itu siapa? Tergantung AD/ART masing-masing korporasi dan kasusnya melibatkan pimpinan korporasi atau tidak. Hal tersebut dijawab pada Pasal 53. Jadi, ini adalah prinsipnya yang mengacu pada hukum pidana dimana dipakai remedi paling akhir. Maka, peraturan pidana tidak mungkin dikesampingkan. Jika misalnya dianggap ada hukum lain, misal HAM atau perdata, hukum pidana akan digunakan untuk senjata paling akhir. Hal ini karena diharapkan hukum pidana itu memberikan perlindungan yang berguna. Hanya saja, memang pertanyaannya adalah di dalam korporasi itu ada atau tidak. Bisa saja korporasi dihukum karena UU Terorisme, bukan kegiatannya saja, termasuk juga melakukan usaha-usaha atau mengumpulkan aset teroris. Jadi, Pemerintah membedakan antara organisasi kriminal, di sini memang dipertanyakan pemegang saham juga menentukan arah. Setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk melakukan kebijakan korporasi tanpa ada otoritas dari atasannya. Di sini tidak disebutkan harus masuk ke dalam struktur. Ini dikendalikan dari luar. Tidak termasuk dalam pengurus atau Direksi. Termasuk di sini adalah itu bisa masuk ke pengesahan. Pemegang saham bisa ke apabila bisa mengendalikan. Biasanya pemegang saham yang dapat mengendalikan itu sedikit, hanya 1%.
  • Jadi, misalnya dari perusahaan, barangkali kepolisian, apabila menyangkut korporasi, melaporkan PT A ke B. maka, harus selalu melihat perundang-undangan lainnya karena mengacu pada UU PT No. 40 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 1 UU PT khususnya butir 5 menjelaskan ke dalam atau ke luar. Suatu PT bisa disebut berbadan hukum, maka PT itu sudah sah sebagai badan hukum, tetapi kalau tidak didaftarkan berarti belum. Bedanya, kalau berbadan hukum pertanggungjawaban itu perseroan atau korporasi. Kalau tidak, ya perseorangan. Pemerintah menjawab dari kepolisian, apabila dilakukan oleh Direksi perusahaan. Kemudian, ada ketentuan untuk perusahaan itu. Apabila digelakan uang, maka belanjalah untuk keperluan perusahaan. Misalnya melakukan perbuatan yang melanggar atau ada kewajiban yang dilarang seperti menggelapkan uang, tetapi bukan untuk operasional perusahaan, sehingga dapat dilihat lagi perannya, orang yang berwenang, bisa jadi yang kena tindak pidana adalah yang memerintah atau yang diperintah.
  • Pemerintah meminta maaf jika salah namun Pemerintah mengatakan ada perbedaan yang ditemukan dalam rumusan mengenai korporasi yang tidak berbadan hukum bisa ditindak atau tidak. Misalnya, dalam hal perbuatan hukum dilakukan pendiri atas nama perseroan, apabila belum ada status badan hukumnya. Oleh sebab itu, Pasal 49 syaratnya bisa dirincikan karena di draft RUU belum terlalu spesifik.
  • Penentu penanggung jawab bila ada tindak pidana hukum di korporasi adalah kebijakan korporasi. Pemerintah bertanya mengenai keharusan mengubah definisi korporasi dalam UU. Lalu dalam lingkup usaha, ini dilakukan melalui proses yang ada dalam AD/ART masing-masing perusahaan. Jadi, Pemerintah juga meminta pertimbangan bahwa korporasi adalah badan hukum dan bukan badan hukum. UU yang dibuat semua mengatakan seperti itu.
  • Rumusan yang ada di dalam Pasal 189 itu mengenai pengertian korporasi. Di sana ada pengaturan untuk badan hukum dan di luar badan hukum, tetapi ini kan organisasi. Pemerintah kesulitan juga merumuskannya.
  • CV atau Firma itu bisa disita kelayakan pribadinya. Ini bukan badan hukum, tetapi tanggung jawab perseorangan. Namun, CVnya bisa kena karena dia di korporasi, kecuali, orang-orangnya saja yang dikenakan pidana. Maka yang diperhitungkan pidana, bukan orang yang mendirikan. Meskipun orang yang mendirikan juga bisa dikenakan pidana. CV dan Firma menjadi kesulitan Pemerintah karena bukan badan hukum. Lalu yang dikenakan pidana adalah pengurusnya. Pemerintah mengatakan jarang sekali korporasinya yang dikenakan sanksi karena yang lebih mudah dideteksi adalah orangnya. Korporasi tidak dikenakan sanksi. Namun kemarin juga banyak yang tidak setuju dengan ketentuan ini.
  • Pemerintah setuju tidak ada diskusi panjang. Kalau boleh rekapitulasi badan hukum dan bukan badan hukum. Kalau badan hukum jelas, akan jelas yang bertanggung jawab dan yang dikenakan sanksi. Jadi, kalau bukan badan hukum, tidak masuk ke dalam pertanggungjawaban korporasi, tetapi perseorangan dengan syarat harus jelas dilakukan oleh kepentingan dan kalau tidak ada hubungannya dengan korporasi, tidak usah diapa-apain.
  • Hal yang dimaksud dengan pemegang saham adalah yang mengendalikan korporasi. Kalau dia membiarkan, itu salah satu bentuk tanggung jawab juga. Belum dirumuskan mengenai beneficial owner, belum masuk perundang-undangan, dan itu harus dibuat sehingga kalau sudah dibuat, diharapkan Pasal 53 dan 54 tidak perlu dibahas lagi karena sudah jelas.
  • RUU KUHP memang mempunyai karakteristik yang berbeda karena disini ada azas hukum yang bisa membuat orang merana sehingga perumusannya beda dan yang Pemerintah tonjolkan adalah azasnya bukan maknanya. Namun tidak semuanya karena ada didalam asas. Hanya saja asas itu yang menjadi guru hukum pidana. Ada asas dan ada definisi istilah karena di dalam government tidak ada yang dilanggar. Jadi, ini disebut dengan teori yang autentik.
  • Pasal 58 merupakan suatu perkembangan baru ketika pengadilan sudah memutuskan lalu selama ini tidak ada kemungkinan modifikasi, ternyata si pidananya berbuat baik untuk memperbaiki perilaku terpidana. Maka, dapat diajukan untuk memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Memang di dalam Pasal ini memberikan kemungkinan seorang terpidana yang telah menerima pidana. Hal ini sulit untuk menjadi kewenangan eksekutif dan harus dikatakan resmi. Jadi, perdebatannya juga cukup kuat. Apabila diberi perubahan, bisa diajukan oleh orang-orang di sekitarnya atau atas permintaan jaksa. Pertanyaannya mungkin mengapa harus ada perubahan saat sudah dituntut. Oleh sebab itu, catatan kejaksaan masih ada dalam draft ini.
  • Ada perubahan pidana, dimunhkinkan tidak ada batasannya. Hal tersebut harus diperhitungkan argumen hukumnya untuk diubah karena di tempat lain dimungkinkan kesempatan kedua. Hal yang menjadi pertanyakan adalah kemungkinan bisa dua-duanya atau overlap.
  • Di dalam pidana penjara sudah dirumuskan, misalnya Pasal 74 dimana mengatakan jika sudah menjalani pidana minimal 9 bulan, dapat diberikan kebebasan bersyarat. Jadi, itu sudah ada dan memang itu kewenangan eksekutif. Idenya adalah memberikan kesempatan pada orang yang direhabilitasi pada orang yang terkena pidana.
  • Untuk Pasal 59-61 akan dirumuskan ulang dan disesuaikan penempatannya terutama hal-hal yang harusnya masuk dalam bagian hukum acara.
  • Untuk ayat 2, Pemerintah mengusulkan didrop.
  • Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan yang telah dijatuhkan. Kalau dari Panja menyetujui, Pemerintah akan memasukan permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan hukuman mati.
  • Pada prinsipnya, Pemerintah setuju. Pasal 71 ada yang terlewatkan. Semestinya, dari pidana seumur hidup selama 15 tahun, baru diusulkan dalam rapat.

Benny dari Fraksi Partai Demokrat Dapil Nusa Tenggara Timur 1

  • Ia mengetuk Pasal tersebut. Ia mengatakan pasal mengenai korporasi sudah, yaitu Pasal 54 yang diberikan penjelasan.
  • Pasal 55,56, dan 57 juga sudah disetujui.
  • Ia mengatakan pasal 58-61 dipending.
  • Ia menyampaikan Pasal 61 sampai 63 direlokasikan.
  • Ia mengatakan Pasal 64 disetujui setelah diperbaiki.
  • Pasal 65 dihapus.
  • Pasal 139 sampai pasal terakhir yaitu 159 sudah melewati batas waktu ia memimpin. Ia mengusulkan Pasal 139-159 diformulasikan lagi oleh Pemerintah.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan