Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

DIM RUU KUHP — Panja RUU KUHP Komisi 3 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Hukum dan HAM, Tim Pemerintah, dan Kejaksaan

Tanggal Rapat: 27 Apr 2016, Ditulis Tanggal: 2 Mar 2021,
Komisi/AKD: Komisi 3 , Mitra Kerja: Kementerian Hukum dan HAM, Tim Pemerintah, dan Kejaksaan

Pada 27 April 2016, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Panja RUU KUHP) Komisi 3 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Tim Pemerintah, dan Kejaksaan mengenai Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUHP. RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Benny K. Harman dari Fraksi Partai Demokrat dapil Nusa Tenggara Timur 1 pada pukul 12:30 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: nasional.sindonews.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Kementerian Hukum dan HAM, Tim Pemerintah, dan Kejaksaan

Benny K. Harman dari Fraksi Partai Demokrat Dapil Nusa Tenggara Timur 1

  • Pasal 40 ayat 2 agak mengganggu. Hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengetahui niat dan tidak niat serta apakah itu wilayah hakim di pengadilan atau penegak hukum.
  • Ia menanyakan tindak pidana sudah sempurna, tetapi polisi tidak mau proses karena masalah uang. Contoh, gojek disuruh mengantar barang tanpa tahu isinya narkotika. Nanti orang ini bisa kena. Orang-orang seperti ini yang harus dilindungi. Dalam kasus narkotika, tiba-tiba seorang menitipkan. Orang ini dengan suka rela, kadang dikasih uang juga untuk dibawa ke suatu tempat. Ia menanyakan cara hukum pidana melindungi orang-orang tersebut.
  • Ia menghimbau KUPH agar tidak dipakai untuk menakut-nakuti.
  • Ia mengatakan alasan dari berhati-hati dalam merumuskan KUHP adalah untuk melindungi.
  • Pasal 40 diserahkan ke Tim Perumusan (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin).
  • Ia menanyakan mengenai orang mabuk untuk Pasal 41.
  • Pasal 41 diserahkan ke timus dan timsin.
  • Pasal 42 diserahkan ke timus dan timsin.
  • Ia menanyakan patokan usia 12 tahun pada Pasal 42 ditentukan berdasarkan internasional atau bukan karena usia anak 12 tahun di Eropa dan di Indonesia berbeda.
  • Pasal 42 a dan b diserahkan ke timus dan timsin. Pasal 42 tadi berkaitan dengan anak. Pertanggungjawaban pidana tidak dapat diberikan terhadap anak yang pada waktu melakukan tindak pidana belum mencapai umur 12 tahun. Substansi di sini mengenai berumur 12 tahun.
  • Adanya alasan pemaaf merupakan alasan untuk tidak ada hukuman, bukan tidak ada pidana. Kalau dibaca pada Pasal 44, maksudnya alasan pemaaf kan peniadaan pidana, berarti ini merupakan urusan hakim, bukan penegak hukum. Itu berarti, penegak hukum, polisi, dan jaksa tidak masuk ke celah subjektif, tetapi objektif. Ia menanyakan mengenai boleh atau tidaknya keterlibatan polisi jika sudah terjadi tindak pidana karena itu alasan hukum atau tetap tidak boleh apapun alasannya. Ia mengatakan jika berlaku hanya untuk hakim, mohon dicantumkan. Menurutnya, ketentuan alasan pemaaf harusnya dikhususkan untuk Mahkamah Agung (MA) dan pengadilan.
  • Ia menanyakan mengenai orang yang sakit jiwa lalu membunuh itu masuk ke alasan pemaaf atau bukan. Ia menanyakan bedanya tidak mampu bertanggung jawab dengan alasan pemaaf. Menurutnya, dalam pembahasan KUHP ini harus diikuti terus menerus karena sangat rumit.
  • Ia menanyakan seseorang yang melakukan tindak pidana karena tugas termasuk pemaaf juga atau tidak dan ia menanyakan orang yang melakukan tindak pidana atas jabatan termasuk alasan pemaaf atau bukan.
  • Di KUHP lama ada di bab penghapusan pidana, penambahan dan pengurangan. Di RUU KUHP ini tidak ada. Mengenai penghapusan pidana, dilakukan atas 2 alasan yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Berarti sama-sama tidak mengerti semua yang ada di sini. Orang buta melihat gajah. Menurutnya, diskusi ini tidak produktif. Ia menanyakan orang sakit dan gila itu masuk pemaaf atau pembenar karena kalau memakai teori ini alasan pembenar. Ia juga menanyakan orang sakit tadi, salah ingatan, kemudian membunuh dan menabrak orang, itu dipidana atau tidak, tetapi mungkin dikenakan tindakan. Ia mengatakan Komisi 3 akan mengikuti logika Pemerintah. Lalu masuk pertanggungjawaban dan masuk ke alasan pemaaf.
  • Ia mengatakan Pasal 41 tentang kemampuan bertanggung jawab dimana menyatakan setiap orang waktu melakukan tindak pidana mengalami gangguan jiwa tidak dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, ia menanyakan kurang dapat mempertanggungjawabkan tetap dipidana, tetapi dikurangi atau penindakan. Ia mengatakan Pasal 43 yang alasan pemaaf sama dengan penghapusan pidana karena tidak mampu bertanggungjawab itu alasan pembenar. Ia mengatakan Pasal 43 ini tidak membicarakan orang sakit. Jadi, ia meminta dibantu mengenai alasan pemaaf Pasal 43 ini, tindak pidana jika seseorang tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan unsur tindak pidana.
  • Ia menanyakan yang menentukan dan memutuskan alasan pemaaf polisi atau hakim karena yang ditentukan dalam atau di atas ini hanya berlaku bagi MA dan pengadilan tinggi. Pengecualian atau penghapusan itu hanya alasan. Tetapi yang menentukan adalah tugas MA dan pengadilan tinggi. Soal pemaaf dan pembenar berlaku bagi MA dan pengadilan tinggi. Ini tidak dicantumkan dalam usulan Pemerintah.
  • Dalam KUHP lama, itu satu heading yaitu pengurangan dan penambahan pemberatan.
  • Alasan pembenar yang ada di dalam rumusan Pemerintah masih di dalam bab mengenai penghapusan pidana. Jadi, kalau dibaca Pasal 43-52, akan mudah memahaminya, tetapi jangan sampai bingung membaca ini.
  • Ia menanyakan alasan Pemerintah di Pasal 44 ayat 3 menentukan itu adalah MA, pengadilan tinggi atau pengadilan negeri karena sama sekali tidak menyebut itu di dalam rumusan mengenai yang melaksanakan dan itu masih menjadi masalah. Kalau ingin ikut, tindak pidana perbuatan itu baik karena yang dicantumkan itu Pasal 32 atau Pasal 43 yaitu tindak pidana karena alasan pembenar. Itu saja supaya bisa sama-sama memahami.
  • Karena alasan penghapusan pidana, tetapi harus dikirim ke panti sosial itu bukan polisi, melainkan hakim. Kalau seperti itu, ia meminta penjelasan secara eksplisit. Jadi, kalau rumusan ini tidak jelas, maka bisa ke polisi atau jaksa dan hakim yang memerintah atau memutuskan.
  • Ia menyebutkan mengenai bab korporasi. Ia menanyakan mau dibahas kapan karena kalau tidak dibahas tidak akan selesai. Ia mengatakan jika bab korporasi tidak dibahas, pembahasan hari ini sudah disetujui Panja. Ia menyampaikan bahwa bab korporasi hanya dua pohon, tetapi akarnya banyak. Ia meminta untuk dipastikan jamnya jika akan dibahas besok.

Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)

  • Niat disini dalam rangka sengata atau tidak sengaja. Mengambil barang itu sudah sengaja. Hal yang perlu dibuktikan adalah sengaja atau lalai.
  • Tujuan tidak bisa disalahkan batas hukum pidana apabila perbuatan itu melanggar. Dalam hukum pidana, di antara sengaja atau kealpaan, ada sepatutnya mengetahui kalau seseorang melakukan sesuatu, dia tetap melakukan itu. Konsekuensinya ada kesengajaan.
  • Seharusnya dalam tindak pidana korupsi, sepatutnya mengetahui itu ada. Kalau objek itu tidak tahu dan terlibat, berarti tidak terlibat.
  • Pasal 41 menyatakan Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental, atau disabilitas mental lainnya, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan.
  • Mabuk tidak masuk dalam penyakit jiwa. Sementara itu, Pasal 41 berkaitan dengan penyakit jiwa.
  • Pasal 42 a dan b merupakan Pasal baru. Pasal 42 a menyatakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan kepada anak.
  • Usia pertanggungjawaban pidana anak di umur 12 tahun diputuskan Mahkamah Konstitusi.
  • Pada prinsipnya, Pasal alasan pemaaf tidak ada perubahan. Pasal 44 KUHP, 48, 49 ayat 2, dan 51 ayat 2.

Tim Pemerintah

  • Kalau orang melakukan perbuatan pidana, harus dilihat ada kesalahan atau tidak. Kalau ada, dipidana. Hal yang pertama tidak ada kesalahan, hal yang berikutnya ada kesalahan namun dimaafkan. Ini menarik. Dalam KUHP lama, yang menentukan alasan pemaaf adalah hakim. Baru setelahnya pihak jaksa yang menghapus tidak ada kesalahan. Misalnya, orang itu benar-benar gila, tidak bisa berkomunikasi lagi. Di pengadilan pun juga tidak bisa. Kesulitan di situ. Ada kesalahan, tetapi ada penghapusnya bahwa itu adalah ukuran yang berbeda, maka yang menentukan adalah hakim. Karena perbuatan pidananya ada, kesalahannya pun ada. Menentukan alasan pemaaf dilakukan oleh hakim.
  • Pemaaf merupakan seorang yang melakukan tindak pidana. Jika dilihat tidak punya kesadaran dan keanehan, Pemerintah akan langsung meminta ahli jiwa dari rumah sakit. Ada surat keterangannya bila diindikasikan sakit jiwa. Ada yang permanen dan setengah permanen. Jadi, polisi selama ini apabila menemukan hal seperti itu, maka mekanismenya cukup dari rumah sakit jiwa saja.
  • Pasal 43 ayat 1 memang terkait dengan alasan pemaaf dan sudah diatur dalam KUHP Pasal 44-51 ayat 2 karena di dalam naskah akademik, alasan pemaaf itu meliputi suatu kondisi kesalahan seseorang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Naskah akademik mengatakan alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pembenar ada pembelaan terpaksa karena ini merupakan perubahan hukum, exit gatenya bisa dibebaskan. Untuk konteks Pasal 43 berbicara ketika ada suatu keadaan perbuatan, itu ada alasan yang dikecualikan, maka dia tidak mendapat pidana. Ayat 2 itu agar mengantisipasi tidak berlindung dengan alasan-alasan di atas.
  • Maka di dalam pertanggungjawaban tidak mampu bertanggung jawab, lalu kurang bertanggung jawab. Dalam konstruksi KUHP, ada seperti ini, tetapi tidak mengukur tindak pidananya. Jadi, ada perbedaan secara konstruksi pemikiran yang melandasi. Konstruksinya ada pada Pasal 51 yang menyatakan perintah jabatan bisa dipidana, tetapi itu merupakan pengecualian saja. Itu alternatif jika tidak ada maksud tertentu.
  • Pemerintah pernah mendebatkan dan yang memutuskan alasan pemaaf dan pembenar adalah hakim. Jadi, memang ruang transaksionalnya adalah pejabat hakim yang memutuskan. Pemerintah akan memberikan penegasan pada rumusan baru bahwa hakim yang akan memutuskan alasan pemaaf.
  • Kalau KUHP yang lama itu mengikuti pola dikumpulkan semua dengan alasan penghapusan pidana. Letaknya kalau dibicarakan mengenai perbuatan ruangan hukum, prinsip melawan hukum, dan seterusnya. Ujung terakhirnya adalah penghapusan. Jadi, kalau pakai tematik plus melawan hukum, pertanggungjawaban dipisah. Ketika membicarakan hal itu, ujungnya penghapusan kesalahan. Sementara itu, alasan pemaaf adalah setelah adanya pertanggungjawaban pidana kesalahan. Seperti itu kira-kira konstruksi pemikirannya. Hal yang menarik adalah perumusan terhadap kesalahan saja atau perbuatan melawan hukum.
  • Penghukuman dan ada tambahan hakim di dalam memberikan kewenangan akan ditempatkan pada posisi yang tepat. Pasal 12 ini mengatur aspek umumnya, Pasal 13 prinsip penegakan hukumnya. Memang penempatannya masih tidak pas. Hakim yang akan melakukan penghapusan. Pemerintah meminta izin merumuskan dan akan disampaikan ke Komisi 3.
  • Tim Pemerintah akan memasukkan bahwa hakim yang menentukan alasan pemaaf.
  • Pembahasan terkait pidana korporasi harus hati-hati. Kalau dibahas malam ini kurang intensif. Tim Pemerintah mengusulkan agar dibahas nanti saja karena terlalu berat. Tim Pemerintah mengusulkan pembahasan bab korporasi dilakukan pagi hari karena kalau malam tidak memungkinkan dan di pagi hari masih fresh. Pemerintah meminta dibahas besok jam 10 pagi dimulai dengan membahas 2 bab yang belum dibahas bersama Prof Muladi.

Kejaksaan

  • Seiring dengan yang disampaikan, nanti dari proses persidangan, kejaksaan akan menghadirkan alat bukti bahwa itu memang betul bisa diadakan dari kejaksaan untuk bisa dipidana. Dari proses persidangan yang akan membuktikan adanya tindak pidana.
  • Jadi, anak 16 kasus supir yang tidak tahu, malam-malam bawa mobil, ditangkap, dan diproses. Kejaksaan yakin ada orang yang tidak bermasalah sama sekali dan ia dituntut 4 bulan sedangkan yang lain dituntut 7 bulan.
  • Contoh lainnya adalah orang gila yang melempar kaca mobil, lalu pecah. Jadi, tidak bisa berkomunikasi dengan mereka. Jadi, masalahnya adalah terdapat kondisi-kondisi tertentu dengan alasan seperti yang membuat orang itu kesalahannya bisa dihilangkan atau dihapuskan. Kalau ada keterangan yang meyakinkan, mungkin tidak masalah asal ada bukti-bukti hasil lab. Istilahnya, ada tindakan namun dihapuskan. Kalau itu dihapuskan, harusnya pengadilan yang berkompeten.
  • Terhadap Pasal 43 ayat 1, memang ada suatu keadaan yang membuat seseorang bisa dipidana atau tidak. Kalau ada suatu program UU, itu sudah dilakukan sedemikian rupa. Orang itu melakukan hubungan suami istri yang dikira istrinya itu benar-benar istrinya. Ternyata bukan istrinya dan itu tidak ada niar. Ini yang dikatakan semacam kesengajaan macam-macam tidak ada. Hal tersebut yang dibangun dalam Pasal 43 ayat 1. Perbuatan yang terbukti dengan alasan dia ada disitu. Itulah yang menjadi ruang bijaksana jika terjadi seperti itu dan mekanisme pidana yang akan dilakukan.
  • Di dalam Pasal, didiskusikan kalau orang yang terkena fisik dan orang yang terkena psikis, akan lebih diutamakan yang terkena psikis. Jadi, membedakannya mudan antara orang normal dan orang yang tidak normal. Ada daya paksa psikis adalah alasan pemaaf.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan