Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan terhadap RUU tentang Hukum Acara Perdata — Komisi 3 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Kongres Advokat Indonesia (KAI)

Tanggal Rapat: 13 Jun 2022, Ditulis Tanggal: 27 Oct 2022,
Komisi/AKD: Komisi 3 , Mitra Kerja: Kongres Advokat Indonesia (KAI)

Pada 13 Juni 2022, Komisi 3 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Kongres Advokat Indonesia (KAI) mengenai Masukan terhadap RUU tentang Hukum Acara Perdata. RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Adies Kadir dari Fraksi Partai Golkar dapil Jawa Timur 1 pada pukul 14:38 WIB. (ilustrasi: hukumonline.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Kongres Advokat Indonesia (KAI)
  • Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (KAI) diundang pada kesempatan ini untuk memberikan masukan terhadap RUU tentang Hukum Acara Perdata. 
  • Izinkan kami menghaturkan permohonan maaf, karena undangan ini baru diterima kemarin, sehingga kami tidak sempat memberikan makalahnya. Namun, kami berjanji akan mengusulkan kemudian.
  • Terhadap RUU tentang Hukum Acara Perdata yang akan dibahas oleh DPR-RI bersama dengan Pemerintah RI. Namun, ada baiknya jika kami diberikan draft RUU tentang Hukum Acara Perdata agar kami dapat memberikan masukan secara menyeluruh, karena sampai saat ini kami belum mendapatkan draft RUU tersebut.
  • Kitab Hukum Acara Perdata yang masih dipakai sampai sekarang ini bersumber dari HIR yang dari segi aspek filosofis, sosiologis, dan yuridisnya masih peninggalan kolonial Belanda. Oleh karena itu, ada 2 hal pokok yang ingin kami kemukakan pada kesempatan ini:
    • Pertama, bahwa salah satu persoalan pokok dalam praktik beracara khususnya dalam perkara perdata adalah lamanya proses penyelesaian perkara mulai dari pendaftaran sampai pada putusan. Bahkan, sampai pada eksekusi. Dengan lambatnya proses peradilan tersebut tentunya sangat merugikan bagi pencari keadilan khususnya di dunia bisnis. Pada saat ini, negara-negara maju menerapkan Small Claim Court atau peradilan yang sangat sederhana. Ini sudah sudah diterapkan di beberapa negara seperti di Amerika dan Eropa. Di negara kita, ada perkara-perkara kecil yang sesungguhnya tidak perlu melalui proses peradilan yang seperti sekarang ini yang menyebabkan perkara itu bertumpuk, baik di pengadilan tinggi maupun di Mahkamah Agung, karena perkara-perkara kecil pun harus melalui prosedur yang sama dengan perkara yang biasa. Oleh karena itu, negara-negara maju menerapkan Small Claim Court. Alasannya, pembuktiannya gampang dan nilai gugatannya sangat rendah. Dengan ketentuan bahwa hakim yang memeriksa tunggal dan diberikan jangka waktu selesai dalam 1 bulan. Barangkali hal ini bisa dimasukkan menjadi salah satu materi daripada RUU tentang Hukum Acara Perdata yang nanti akan dibahas oleh DPR-RI bersama Pemerintah. Persoalannya, saat ini ada beberapa pendapat ahli yang bertanya-tanya: Small Claim Court ini dapat dimasukkan di dalam Hukum Acara Perdata atau diatur tersendiri dalam suatu peraturan perundang-undangan. Mengingat kita akan melakukan kodifikasi dan unifikasi, maka KAI berpendapat sebaiknya gugatan-gugatan sederhana ini atau yang disebut dengan Small Claim Court dapat dimasukkan di dalam Hukum Acara Perdata.
    • Kedua, perlu diadopsi di dalam RUU Hukum Acara Perdata yaitu mengenai perkara yang disebut Class Action atau gugatan kelompok. Ini biasa terjadi pada perkara-perkara yang korbannya banyak. Apabila dilakukan secara sendiri-sendiri, maka dapat menimbulkan inkonsistensi terhadap keputusan perkara. Dulu pernah ada perkara Class Action yang diajukan oleh R.O. Tambunan dengan alasan ia mewakili anaknya maupun mewakili generasi muda Indonesia untuk menggugat PT. Bentoel, karena iklannya dianggap merusak generasi muda. Kemudian, pada tahun 1988 ada juga perkara Class Action di mana Muchtar Pakpahan menggugat Gubernur DKI Jakarta, karena ia menderita demam berdarah. Perkara yang terkenal itu dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang menggugat PLN, karena ada apa pemadaman listrik se-Pulau Jawa. Kita melihat perkara-perkara tersebut tidak ada yang dimenangkan oleh peradilan. Alasan yang pertama bahwa penggugat tidak memiliki legal standing, yang kedua tidak ada kepentingan, dan yang ketiga bahwa Class Action ini belum diatur secara tegas di dalam perundang-undangan kita. Oleh karena itu, KAI berpendapat bahwa alangkah baiknya kalau Class Action atau gugatan kelompok ini dimasukkan dalam RUU tentang Hukum Acara Perdata agar tidak lagi merugikan banyak masyarakat. Dengan demikian, efisiensi peradilan bisa dilakukan sekaligus menghindari putusan yang berulang-ulang dan sifatnya ekonomis. Class Action sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, jika tidak salah ada di dalam UU Nomor 8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen, UU tentang Kehutanan, dan UU tentang Lingkungan Hidup. Mengingat kita akan membahas RUU tentang Hukum Acara Perdata yang bersifat kodifikasi dan unifikasi, oleh karena itu ada baiknya materi Class Action atau gugatan kelompok dapat dimasukkan dalam RUU tentang Hukum Acara Perdata.
  • KAI sangat mendukung proses revisi UU ini hingga tuntas.
  • KAI berpendapat ketika kita membahas aspek hukum formil dari Hukum Acara Perdata, tentunya kita tidak lepas kepada asas-asas hukumnya. Salah satunya asasnya tujuan jelas. Kita juga tidak bisa lepas dari Fuller Morality of Law yang menyampaikan bahwa peraturan harus dirumuskan dan dapat dimengerti.
  • Terdapat beberapa dinamika yang kami ikuti, salah satunya apabila yang dipanggil adalah pihak keperdataan atau yang dikatakan pengurus dan pengurus ini akan maju untuk didengarkan keterangan atau lain sebagainya dalam pengadilan itu masih ada multitafsir apa yang ditunjukkan. Artinya, pengurus ini harus diperjelas  normanya. Hal ini menjadi salah satu masukkan yang kami jaring dari praktisi bisnis.
  • Mengingat hukum formil ini sangat bisa menjadi posisi tawar jangka waktu. Oleh karena itu, jangka waktu harus terukur. Semua pihak baik pemohon maupun saksi juga terikat dengan waktu. Jika terikat dengan waktu, maka ada sumber daya yang harus dikeluarkan. Semua tahapan itu bisa kita ukur dan kita punya keyakinan  bahwa sumber daya manusia yang ada di Indonesia pasti berkomitmen terhadap jangka waktu. Dengan demikian, waktunya efektif dan efisien. Semua tahapan itu dapat dibuatkan limitasinya.
  • Terdapat kesan apabila kita berbicara perdata waktunya sangat banyak, sangat panjang, sangat rumit, dan biaya yang dikeluarkan sangat banyak. Hal ini perlu kita efisienkan, sehingga nantinya bisa kita alokasikan untuk kepentingan rakyat atau negara. 
  • Dengan diaturnya jangka waktu, maka semuanya akan tercapai sesuai dengan yang dijadwalkan, sehingga ada kepastian hukum baik bagi masyarakat maupun kelompok dan juga pelaku usaha. 
  • Banyak pelaku usaha yang merasa begitu lamanya satu proses perdata dari mulai pengadilan pertama, banding, kasasi, hingga PK.
  • Berdasarkan draft yang kami baca bahwa Barang Milik Negara (BMN) tidak dapat disita. Kami berpendapat tidak hanya BMN saja, tetapi juga semua barang yang menjadi objek vital nasional. Jika objek vital nasional banyak yang disita, tentu perlu dipertimbangkan, karena itu menjadi kebutuhan yang sangat vital.
  • KAI berpandangan bahwa keputusan apapun terhadap RUU sepanjang itu berpihak kepada negara dan kepentingan kita bersama, kami mendukung sepenuhnya.
  • Dalam kesempatan berikutnya, kami juga masih terbuka untuk memberikan masukan-masukan guna penyempurnaannya.
  • Pelayanan ataupun proses hukum yang diperoleh oleh masyarakat seharusnya bersifat efisien, efektif, murah, dan berkeadilan.
  • Fenomena yang sering dihadapi di tengah dunia hukum kita misalnya terkait dengan permohonan eksekusi. Dalam beberapa kesempatan, KAI mempunyai pengalaman bahwa dalam permohonan eksekusi terhadap perkara yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkrah itu terkadang mengalami kendala, karena ternyata objek yang disengkatakan telah dikuasai oleh pihak lain dalam hal ini yang tidak masuk dalam ranah perkara atau tergugat. KAI terkadang mempunyai kendala yang cukup besar, sehingga mohon dalam RUU KUH-Perdata ini juga mengatur terkait dengan penguasaan objek yang sedang disengkatakan itu agar ada kepastian hukum dalam proses yang sedang berjalan.
  • KAI juga punya pengalaman yang cukup banyak dan ini sangat fenomenal yaitu terkait dengan PK yang sudah tidak ada batas lagi. Hal ini terkadang menimbulkan kerancuan di tengah-tengah hukum kita. Oleh karena itu, perlu diberikan sedikit batasan bahwasanya PK itu hanya sekali. Boleh 2 kali apabila ada pengecualian. Misalnya, ada dugaan kasus suap-menyuap antara para pihak yang sedang berperkara dengan Majelis Hakim. Baru dimungkinkan untuk PK itu bisa 2 kali atau ditambah lagi satu kali. Jika tidak, akan membuat hal yang telah inkrah dalam waktu yang lama dimentahkan hanya karena PK yang berkali-kali. Oleh karena itu, perlunya limit waktu bagi PK jika terjadi lebih dari 1 kali, misalnya 2 sampai 3 bulan.
  • Pada sisi yang lain, KAI juga ingin menyarankan bahwasanya sebagaimana sudah disampaikan terkait tenggang waktu dalam proses perkara perdata di tingkat PN, PT, dan MA itu terkadang tidak ada limit yang membuat kita menunggu bahkan sampai para pencari keadilan tersebut sudah meninggal belum ada kepastian hukum terkait dengan proses hukum yang sedang berjalan atau tengah berjalan.
  • Kami yakin dari hati yang paling dalam bahwa Komisi 3 DPR-RI mempunyai keyakinan yang sama bahwasanya kehadiran kita di republik tercinta ini memberikan jaminan kepada masyarakat pencari keadilan agar proses hukum tidak bertele-tele, tidak memakan biaya, dan tidak ada yang merasa dirugikan hanya karena soal-soal yang tidak substantif.
  • Terakhir, terkait dengan permohonan eksekusi itu sendiri tidak bisa kita menafikan bahwa ada sejumlah biaya atau sejumlah anggaran yang kadang melampaui objek ataupun nilai daripada perkara yang sedang berjalan. Oleh karena itu, perlunya batasan limit nilai dari eksekusi, sehingga jangan sampai memberi kesan jika masyarakat pencari keadilan yang tidak punya apa-apa atau tidak punya duit, maka kasusnya tidak pernah bisa dieksekusi. KAI mempunyai pengalaman seperti itu.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan