Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Konten Buku 2 RUU KUHP — Komisi 3 DPR-RI Rapat Panitia Kerja (Panja) dengan Tim Pemerintah

Tanggal Rapat: 15 Sep 2016, Ditulis Tanggal: 16 Apr 2021,
Komisi/AKD: Komisi 3 , Mitra Kerja: Tim Pemerintah

Pada 15 September 2016, Komisi 3 DPR-RI mengadakan Rapat Panitia Kerja (Panja) dengan Tim Pemerintah mengenai Konten Buku 2 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Rapat Panja ini dibuka dan dipimpin oleh Benny K. dari Fraksi Partai Demokrat dapil Nusa Tenggara Timur 1 pada pukul 20.00 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. Rapat dihadiri oleh 7 dari 10 Fraksi dan 13 dari 25 anggota Komisi 3. (Ilustrasi: artikelddk.com)

Pengantar Rapat

Buku 2 setelah dihitung berisi 39 bab. Telah disepakati pada rapat sebelumnya bahwa rapat hari ini akan melanjutkan membahas buku 2 karena ada beberapa hal yang dipending di buku 1.

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Tim Pemerintah

Tim Pemerintah

  • Terkait buku 2, Pemerintah melihat ada perdebatan mengenai perbedaan persepsi. Berkenaan dengan masih adanya perbedaan dari segala aspek, maka isi buku 2 bisa menjadi pegangan terkait perdebatan.
  • Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum masuk ke pembahasan KUHP adalah bagian ke-2 ini, rekodifikasi mengandung berbagai misi sebagai berikut:
    • Dekolonialisasi (menetralisasikan atau menghilangkan pengaruh kolonial terhadap KUHP yang secara masif dilakukan melalui asas konkordansi, doktrin, dan yurisprudensi Belanda).
    • Demokratisasi/humanisasi (menjaga keseimbangan, baik kelembagaan/negara, kepentingan hukum dan moralitas, baik kelembagaan/negara, kepentingan umum dan kepentingan individual).
    • Harmonisasi (penyesuaian hukum pidana nasional dengan berbagai konvensi dan kecenderungan internasional).
    • Konsolidasi (proses untuk mempersatukan).
    • Partikularisasi (berkaitan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat dan penyesuaian/sinkronisasi pengaturan hukum pidana terhadap pancasila dan NRI 1945).
  • Semua RUU tentang KUHP baru harus ada yang menjelaskan hal yang diundangkan, dari warisan Belanda menjadi warisan nasional Indonesia
  • Semangat hukum (legal spirit) dan justifikasi (raison d’etre) KUHP baru dalam kerangka proses dekolonialisasi dan rekodifikasi hukum pidana nasional akan terlihat secara garis besar tersurat dan tersirat, baik dalam konsideran RUU tentang KUHP baru, maupun dalam penjelasan umum RUU tersebut.
  • Semangat dan pembenaran tersebut sesungguhnya telah mengemuka setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam bentuk UU No. 1 Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana , dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa peraturan hukum pidana yang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1945. Namun dalam Pasal 5 ditegaskan bahwa “peraturan-peraturan yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi” harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku. Di sini nampak bahwa perubahan yang terjadi masih bersifat ad hoc.
  • Peraturan hukum pidana yang berlaku adalah sebelum datangnya Jepang. Jadi, sebelum RI merdeka.
  • Perubahan KUHP yang terjadi masih bersemangat kolonial, padahal negara Indonesia sudah lama merdeka.
  • Perubahan yang terjadi melalui KUHP baru bersifat sistemik.
  • Sehubungan dengan basis yuridis filosofis, perlu dikemukakan beberapa hal yang memerlukan perhatian, yaitu:
    • Menonjolnya aliran neo klasik (daad-daderstrafrecht) yang merupakan perpaduan (hybrid) antara pemikiran aliran klasik yang cenderung bersifat retributif dan bernuansa “daad-strafrecht” dengan aliran modern atau aliran positif dalam hukum pidana yang cenderung rasional memperhatikan aspek individualisasi pidana (daderstrafrecht).
  • Masuknya pengaruh yuridis filosofis dan perhatian pada hukum pidana anak, perkembangan pemikiran-pemikiran setelah perang dunia ke-2, khususnya HAM dan sejenisnya. Aspek budaya dan sosial juga harus mempengaruhi struktur KUHP selanjutnya. Selain itu, asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab dan konvensi internasional terkait.
  • Sebelum menguraikan alasan hapusnya buku 3 WvS tentang pelanggaran (overtredingen), perlu terlebih dahulu dipahami hal yang terjadi di lingkungan civil law system, urutan tindak pidana dimulai dari yang berat (kejahatan terhadap keamanan negara) menjurus pada kepentingan yang lebih ringan, urutannya misalnya kejahatan terhadap keamanan negara -> kejahatan terhadap ketertiban umum -> kejahatan terhadap kepentingan perseorangan. Contoh: di KUHP Belanda, perumusan buku 2 dimulai dari misdrijven tegen veiligheid van de staat -> misdrijven tegen de koninklijke waardigheid -> misdrijven tegen de openbare orde -> misdrijven tegen de burgerlijke staat -> baru overtredingen dst. Dengan demikian, keamanan nasional bagi suatu negara sangat strategis.
  • Pancasila dan UUD RI tahun 1945 ditempatkan sebagai buku pedoman negara.
  • KUHP Jerman terdiri atas:
    • General past (allgemeiner teil).
    • Special past (besonderer teil), dengan urutan:
      • Crimes against the democratic rule of law.
      • Crimes against public order.
      • Crimes against the person of sexual nature.
      • Crimes against life.
      • Crimes against another person’s wealth (ie. robbery and theft).
      • Dst.
      • Asusila di akhir KUHP yang diutamakan adalah UU moral.
  • Catatan: Nampaknya kondisi sosial politik di negara-negara dalam sistem common law (case law) (80 negara) secara historis lebih demokratis. Peranan pengadilan sangat dominan untuk menciptakan “precedent” yang mengikat atas dasar prinsip “stare decisis”. Peranan hakim sebagai wasit; dalam civil war system yang berasal dari Eropa daratan (150 negara), hukum berhulu pada kodifikasi (statute) sebagai warisan zaman Romawi yang bersifat authoritative. Hakim digambarkan sebagai investigator yang memimpin persidangan tidak mutlak karena muncul juga bentuk campuran (mix of features from common to civil war system).
  • Dalam RUU KUHP, pengaturan buku III KUHP (WvS) tentang pelanggaran ditiadakan dan absorbsi terhadap pasal-pasal buku III yang masih relevan dilakukan oleh buku II RUU KUHP tentang Tindak Pidana (contoh Pasal 503 WvS, yaitu pelanggaran terhadap ketertiban umum tetap diatur dalam buku II RUU sebagai tindak pidana Pasal 301 ayat (4). Demikian juga Pasal 510 KUHP yang mengatur tentang Penyelenggaraan Pesta atau Keramaian Tanpa Izin tetap diatur dalam Pasal 321 RUU KUHP, dll).
  • Ada kejahatan yang baru disadari sebagai pelanggaran delik, misalnya tindak pidana ekonomi.
  • Setelah berdiskusi dengan profesor di Leiden. 2 ahli dari Belanda setuju tentang adanya 2 buku KUHP.
  • Konsistensi terhadap ide “rekodifikasi terbuka”. (Vide Pasal 218 RUU) atas dasar paradigma baru (rearranging and systemic criminal reform), membawa konsekuensi masih dibuka kemungkinan perkembangan hukum pidana di luar KUHP mendatang dan berkembangnya hukum pidana administratif (mala prohibita, dependent crime/specific crime). Disamping itu, asa lex specialis derogat legi generali (logische specialiteit), memungkinkan UU di luar KUHP dapat menyimpang dari asas-asas buku I apabila UU menentukan lain.
  • Denda pidana lebih cepat dan harus lebih kasuistis dibanding denda pidana yang sebelumnya ada di KUHP.
  • Pengadilan harus menyediakan alat meskipun tersangka adalah golongan tidak mampu.
  • Substansi buku 1 pada dasarnya memuat asas-asa hukum pidana.
  • Fungsi asas hukum adalah bersifat mengesahkan dan berpengaruh untuk keadilan di Indonesia.
  • Hal yang tidak diatur oleh KUHP yang lalu adalah pengaturan tindak pidana persiapan berupa perencanaan kondisi.
  • Tujuan pemidanaan adalah pertanggungjawaban pidana korporasi dan perumusan penerapan pidana penjara.
  • Perbuatan yang dapat menyebabkan terpidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan dapat dibuktikan.
  • Maksimum khusus pidana penjara adalah seumur hidup. Minimum khusus adalah 1 hari tergantung jenis yang dilanggar.
  • Terhadap pidana denda, ada beberapa patokan sebagai berikut:
    • Apabila tidak ditentukan minimum khusus, maka pidana denda paling sedikit Rp100.000,-. Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori 1 sampai dengan 4.
    • Jumlah tersebut perlu diantisipasi terkait dengan nilai fluktuasi Rupiah dan apabila terjadi perubahan nilai uang, maka dapat dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.
    • Untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya.
  • Pidana minimum khusus tidak berlaku pada pidana denda. Pidana denda paling sedikit Rp100.000. Maksimum tergantung kasus.
  • Asas keseimbangan yang berkeindonesiaan tersebut dalam butir 6(G) di atas berkaitan dengan:
    • Keseimbangan monodualistik.
    • Antara moralitas individual, sosial, dan kelembagaan.
    • Social welfare dan social defence.
    • Antara kepentingan pelaku dan korban.
    • Double track system (antara pengaturan pidana dan tindakan).
    • Pengaturan alternatif pidana kemerdekaan.
    • Kepentingan nasional dan internasional.
  • Pengaturan hukum pidana anak dan peradilan anak dimungkinkan pidana mati dan seumur hidup.
  • Seseorang yang melakukan pidana tidak dimaafkan jika dengan sengaja melakukan tindak pidana.
  • Asas hukum umum yang dicontoh dari Belanda, bagi yang bersifat melawan hukum akan dilanjutkan, asal dapat disesuaikan.
  • Aturan yang bersifat historis tentang komunisme masih sangat kuat di Indonesia. Jadi akan tetap dimasukkan ke dalam pidana.
  • Dalam delik susila, termasuk masalah penghinaan terhadap orang lain dan menghina adalah menyerang orang atau pihak tertentu.
  • Pasal 15 bertentangan dengan UUD RI 1945 sesuai kasus yang baru-baru ini muncul.
  • Hal yang perlu diperhatikan adalah pedoman dari HAM Internasional, misalnya pada para penjahat perang yang dihukum mati.
  • Tindak pidana yang berasal dari KUHP tidak boleh bertentangan dengan UUD RI 1945 dan HAM internasional.
  • Pendekatan semi global dilakukan untuk penanganan extra ordinary crime.
  • Akurasi pencantuman ancaman pidana mati terhadap tindak pidana tertentu ini mencakup tindak pidana berat tertentu (bersifat agama, dll).
  • Nantinya diperlukan aturan peralihan yang komprehensif dan kemungkinan lainnya.
  • Tugas yuridis hukum pidana tidak hanya mengatur masyarakat, namun mengatur penegak hukum pula.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan