Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Penjelasan DPR-RI (Komisi 4 DPR-RI), Pandangan Pemerintah, Pandangan DPD-RI atas Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) — Komisi 4 DPR-RI Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Komite II DPD-RI

Tanggal Rapat: 22 Nov 2022, Ditulis Tanggal: 25 Jan 2023,
Komisi/AKD: Komisi 4 , Mitra Kerja: Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Komite II DPD-RI

Pada 22 November 2022, Komisi 4 DPR-RI mengadakan Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Komite II DPD-RI mengenai Penjelasan DPR-RI (Komisi 4 DPR-RI), Pandangan Pemerintah, Pandangan DPD-RI atas Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE). Raker ini dibuka dan dipimpin oleh Sudin dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) dapil Lampung 1 pada pukul 10.41 WIB. (Ilustrasi: Jejak Parlemen)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Komite II DPD-RI

Mentei Lingkungan Hidup (LHK):

  • Sebagaimana dipahami bersama bahwa RUU KSDAHE telah disampaikan oleh DPR-RI kepada Pemerintah sebagai RUU Inisiatif DPR-RI yang menjadi prioritas pembahasan dalam Prolegnas 2022 melalui Keputusan DPR-RI Nomor 8 DPR-RI 2021-2022 tanggal 7 Desember 2021 tentang Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2022 dan Prolegnas RUU Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024.
  • Selanjutnya, Presiden melalui Surat Mensesneg Nomor B688/MD1HK00207/2022 pd 25 Juli 2022 menugaskan Menteri LHK bersama dengan Mendagri, Menkumham, Mentan, serta Menteri KP untuk bersama-sama mewakili Presiden dalam pembahasan RUU dimaksud di DPR-RI.
  • Dalam rangka menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KSDAHE, Pemerintah telah melakukan serangkaian pembahasan dan harmonisasi secara bersama-sama Menteri LHK bersama dengan Mendagri, Menkumham, Mentan, serta Menteri KP telah ada kesepakatan pada rapat di Kemenko Marves pada 17 Oktober 2022 berkenaan dengan persoalan kewenangan KLHK dan kewenangan KKP. Telah ada kesepakatan tentang status kawasan serta status Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL).
  • Poin utama yang disepakati antara KLHK dengan KKP terkait pelaksanaan kegiatan konservasi, yaitu pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan menjadi kewenangan dan tanggung jawab menteri yang membidangi lingkungan hidup dan kehutanan serta dua kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di luar KSA dan KPA menjadi kewenangan dan tanggung jawab oleh menteri yang membidangi kelautan dan perikanan dengan tata cara penetapan dan pengelolaannya berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang kelautan dan perikanan, sedangkan terhadap usulan KKP terkait kewenangan ikan sebagai kewenangan KKP dapat diakomodir dalam revisi PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis TSL.
  • Terkait pengaturan masyarakat hukum adat telah dilakukan harmonisasi dengan Kemendagri bahwa tentang masyarakat hukum adat akan diatur dalam UU tersendiri.
  • Berkenaan dengan peran serta masyarakat termasuk masyarakat adat dapat dipertimbangkan untuk entry point secara terbatas mengenai peran masyarakat hukum adat yang berada dalam kawasan hutan konservasi berkenaan dengan fungsi hutan dan hutan adat.
  • Pembahasan dengan Mentan berkaitan dengan materi genetik yang mana dalam RUU KSDAHE ini terkait genetik telah dihantarkan dalam pasal-pasal yang mengatur pengawetan dan pemanfaatan yang pengaturannya dalam UU tersendiri, yaitu RUU Sumber Daya Genetik.
  • Selanjutnya, dengan Menkumham pembahasan lebih di titik beratkan pada koherensi antar peraturan perundang-undangan.
  • Atas dasar kesepakatan tersebut, maka pada 17-10-2022, DIM RUU tentang KSDAHE telah lengkap diparaf oleh Menteri LHK, Menteri KP, Mentan, Mendagri, serta Menkumham dan selanjutnya DIM dimaksud telah disampaikan kepada Sekjen DPR-RI melalui Mensesneg.
  • Pemerintah sangat menghargai inisiasi DPR-RI khususnya Komisi 4 yang secara terus-menerus mendorong perbaikan konservasi sumber daya alam di Indonesia selama ini.
  • RUU ini merupakan perubahan terhadap UU sebelumnya, sehingga perlu segera hadir dan menjadi instrumen hukum nasional guna menjawab berbagai perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam urusan konservasi dan sumber daya alam.
  • Secara filosofis, dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang merupakan landasan bagi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam hayati oleh negara dan untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  • Pasal 33 Ayat 3 menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  • Secara sosiologis, RUU KSDAHE ini perlu mengatur secara terang dan jelas tentang sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai sumber daya yang mutlak dibutuhkan keberadaannya oleh manusia serta memiliki fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi.
  • Pemerintah memandang bahwa keberadaan KSDAHE amat vital bagi kehidupan manusia, maka diperlukan pengaturan yang bertujuan untuk melestarikan dan/atau melindungi KSDAHE, meningkatkan pemasukan devisa negara, dan mensejahterakan masyarakat sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan pelibatan masyarakat serta swasta dengan tidak mengabaikan karakteristik dan keberlangsungan hidup ekosistem.
  • Dengan demikian, tetap terjaga dimensi perlindungan dan pengelolaan menjadi pijakan sejalan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009.
  • Pada kenyataannya bahwa dalam penyusunan dan penetapan sejak kehadirannya, UU Nomor 5 Tahun 1990 telah menjadi acuan ketentuan-ketentuan terkait KSDAHE pada UU lain, antara lain UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
  • Posisi UU Nomor 5 Tahun 1990 dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sepakat untuk tidak diubah. Bahkan, sudah diakomodir dan telah diimplementasikan melalui PP Nomor 5 Tahun 2021 beserta peraturan pelaksanaannya.
  • Dalam kurun waktu 30 tahun lebih UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE beserta perangkat implementasinya telah banyak memberi kontribusi dalam mengamankan potensi sumber daya alam serta memastikan kelestarian dan pemanfaatannya.
  • UU ini menjaga benteng pertahanan atau sebagai kekuatan terakhir menjaga fungsi hutan secara nasional.
  • 3 prinsip dasar dalam konsepsi perlindungan dan pengelolaan sebagai kegiatan konservasi, yaitu:
    • perlindungan sistem penyangga kehidupan;
    • pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan
    • pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
  • 3 prinsip dasar itu yang menjadi pilar utama dalam mengelola 568 unit kawasan konservasi seluas 27,14 juta hektar dengan 109.000 jenis flora dan 17.400 jenis fauna, baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan konservasi.
  • Prinsip 3 pilar juga telah dikuatkan dan diimplementasikan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di mana dalam Pasal 57 menerapkan prinsip 3 pilar tersebut, yaitu perlindungan, pengawetan, serta pemanfaatan sebagai payung hukum dalam pengelolaan kawasan konservasi dan keanekaragaman hayati.
  • Dalam penataan ruang, KSA dan KPA juga telah dikukuhkan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di mana KSA dan KPA sebagai bagian dari tata ruang nasional yaitu sebagai kawasan lindung.
  • Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya didasarkan atas ekosistem yang satu dengan lain saling berkaitan atau ecosystem based management. Sehingga harus dikelola dalam satu kesatuan manajemen.
  • Pemisahan konservasi antara wilayah daratan perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil bertentangan dengan prinsip dasar ilmu ekologi atau scientific based.
  • Pemanfaatan sumber daya yang beragam dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat dengan preferensi yang berbeda serta adanya sifat common property dan open access dari sumber daya alam.
  • Kita berupaya memahaminya termasuk pemahaman dalam norma konsep dan rencana pada skala nasional serta konsekuensi-konsekuensi dan antisipasinya bagi pelaksanaan di lapangan.
  • Prinsip pengelolaan konservasi telah diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 dimana KSA dan KPA secara fisik wilayahnya dapat berupa daratan perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai satu kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan.
  • Secara nasional implementasi UU Nomor 5 Tahun 1990 telah mengakomodir kepentingan strategis nasional antara lain: pemanfaatan panas bumi jaringan listrik dan telekomunikasi, pertahanan, jalan strategis, dan pemberdayaan masyarakat.
  • Pemerintah berpendapat bahwa substansi yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 yang pada konteks masih sangat relevan untuk kondisi saat ini.
  • Tantangan utama yang dihadapi dalam implementasi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE diantaranya adalah terbatasnya kewenangan PPNS kehutanan dalam proses penyidikan, tidak optimalnya jenis dan tingkat tuntutan atau pemberatan sanksi perdata dan hukuman pidana serta belum adanya sistem pendanaan berkelanjutan di bidang KSDAHE.
  • Dalam hal pemanfaatan KSDAHE dan ekosistemnya UU Nomor 5 Tahun 1990 mengatur kondisi lingkungan perlu diuraikan secara tegas dalam penjabaran dari kondisi lingkungan antara lain: wisata alam, air, karbon, angin, panas bumi dan panas matahari.
  • Selain itu dengan adanya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkait KSDAHE sudah diatur dengan undang-undang tersebut.
  • Sehingga dalam revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 kami memandang tidak perlu mengatur mekanisme pelimpahan kawasan konservasi dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
  • Hal ini dikarenakan hutan konservasi merupakan benteng terakhir kawasan hutan dan cukup pendelegasian wewenang melalui prosedur kerja sama antara pusat dan daerah dalam sistem dekonsentrasi dan atau devolusi.
  • Terhadap peran dan kewenangan Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota telah secara tegas diatur kewenangannya di bidang konservasi yaitu kewenangan pengelolaan taman hutan raya oleh Pemerintah Daerah.
  • Selain itu Pemerintah Provinsi juga telah diberikan kewenangan terhadap pelaksanaan perlindungan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi.
  • Berkenaan dengan usulan pembagian status konservasi TSL menjadi 3 kategori menurut hemat kami pembagian kategorisasi dimaksud akan mempersulit proses identifikasi pengendalian pemanfaatan pengawasan serta penegakan hukum.
  • Dalam hal ini aspek executability atau bisa dilaksanakan secara operasional dengan mudah juga perlu menjadi pertimbangan yang serius. Untuk itu pembagian 100 TSL kiranya tetap pada status dilindungi dan tidak dilindungi.
  • Berdasarkan penjelasan tersebut kami sampaikan pandangan Pemerintah terhadap RUU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya inisiatif DPR-RI yang cukup dilakukan melalui format revisi sesuai dengan dokumen ke dokumen dalam Prolegnas dan Badan Legislasi serta dokumen lain.
  • Seluruh usulan DPR-RI telah kami cermati dan tanggapi dalam DIM sebagaimana kami lampirkan mohon berkenan kiranya ini dapat dibahas lanjut berupa DIM Pemerintah siap membahas sebagaimana jadwal dan mekanisme yang akan disepakati.

Komite II DPD-RI:

  • Pertama, usulan RUU tentang KSDAHE sebagaimana disampaikan oleh DPR-RI memiliki signifikansi yang sangat krusial dilihat dari perspektif dinamika persoalan sumber daya alam hayati dan lingkungan hidup.
  • DPD-RI juga mendukung penyusunan RUU ini dengan melihat fakta yang banyak terjadi saat ini bahwa sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dihadapkan pada kondisi kerusakan kelangkaan dan kepunahan sehingga diperlukan upaya konservasi.
  • Selain itu DPD-RI berpandangan dan berpendapat bahwa KSDAHE perlu diatur secara sistematis dan terpadu sehingga optimal dan seimbang antara aspek perlindungan dan pengawetan dengan aspek pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan.
  • Namun demikian DPD-RI berpendapat bahwa struktur dan anatomi batang tubuh dalam RUU KSDAHE ini belum tersusun secara sistematika yang runtut dan jelas untuk dapat menyampaikan konsep konservasi sumber daya alam hayati secara baik.
  • Dalam konsep besar konservasi terdapat tiga hal mendasar:
    • perlindungan sistem penyangga kehidupan dan proses ekologis esensial
    • pengawetan dan keanekaragaman hayati
    • pemanfaatan sumber daya alam hayati secara lestari dan berkelanjutan.
  • Ketiga konsep ini saling berkaitan dan mendukung satu sama lain namun demikian sistematika yang ada di dalam RUU ini masih pada isu kategorisasi kawasan konservasi dengan redaksi penormalan yang tidak runtut keterkaitan antara pasalnya.
  • Ketidakruntutan ini terutama dampak dalam sistematika antara Bab 3, Bab 7 serta pasal-pasal yang ada pada DIM 74 sampai dengan 134. Dalam hal ini tentu saja menjadi perhatian utama dari DPD-RI.
  • DPD-RI juga berpendapat bahwa di dalam RUU ini belum konsisten dalam perumusan redaksional pasal maupun inkonsistensi konsep dasar khususnya berdasarkan pada yang telah tertuang di dalam naskah akademik dengan apa yang tertuang di dalam RUU.
  • Penggunaan istilah konservasi keanekaragaman hayati pada penjelasan umum RUU maupun inkonsistensi pada ketentuan mengenai asas pada DIM 51 dan 52 yang berbeda dengan apa yang tertulis di dalam Naskah Akademik berkaitan dengan definisi.
  • DPD-RI berpendapat bahwa penggunaan istilah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya maupun konservasi keanekaragaman keanekaragaman hayati memiliki kesamaan prinsip dan konsep.
  • DPD RI berpendapat bahwa judul RUU sebaiknya pada konservasi sumber daya alam hayati saja karena hubungan timbal balik antara sumber daya alam hayati dengan ekosistemnya masih terjadi karena merupakan satu kesatuan yang saling terkait satu sama lain.
  • Berkaitan dengan penormaan asas, DPD-RI berpendapat bahwa naskah RUU cenderung merupakan satu asas mendasar yang wajib diutamakan dalam konservasi sumber daya alam hayati yaitu asas kehati-hatian.
  • Selain itu berkaitan dengan alur kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemda yang selama ini menjadi momok dari UU Nomor 5 Tahun 1990 karena tidak pernah diatur secara jelas sebelumnya juga belum dinarasikan dalam redaksional yang runtut.
  • DPD-RI mendukung peraturan tentang aspek perizinan berusaha yang terkait dengan aspek konservasi sumber daya alam hayati.
  • Namun demikian DPD-RI berpendapat bahwa semestinya aspek perizinan ini diatur setelah lebih rinci di dalam bab tersendiri dan sekaligus perlu untuk disinkronkan dengan pengaturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
  • Namun DPD-RI juga memberikan apresiasi atas pengaturan yang lebih detail mengenai larangan penyidikan yang mengedepankan pemanfaatan teknologi sebagai unsur pembuktiannya yang dapat diterapkan atas pelanggaran hukum terkait SDH.
  • Termasuk juga mengenai akomodasi di dalam RUU ini tentang aspek pidana korporasi maupun pidana bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya di bidang konservasi DIM 188 dan 190.
  • DPD-RI berpendapat bahwa selain sistematika bab dan struktur isi RUU, konsep besar tentang konservasi atas sumber daya hayati di dalam RUU ini juga perlu untuk dirubah.
  • RUU tentang KSDAHE sangat diperlukan karena selain UU Nomor 5 Tahun 1990 sudah berumur terlalu lama namun juga perlu disesuaikan dengan dinamika perkembangan hukum dan kebijakan pada aspek konservasi.
  • DPD-RI menegaskan konsistensi konsep dan kategorisasi kawasan konservasi menjadi catatan khusus yang utama dalam pandangan ini.
  • Hal ini terutama untuk memberikan pengaturan yang lebih jelas tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam atau karya serta konsep yang melekat di dalamnya.
  • Berdasarkan pada hal tersebut maka semestinya dalam kategori kawasan konservasi tersebut juga disesuaikan konteksnya, manajemen pengelolaannya, menurut fungsi dan tujuannya.
  • Sebagai contoh, antara Cagar Alam dan Suaka Margasatwa sangat berbeda dalam konteks pengelolaannya, namun dikelompokkan pada kegiatan perburuan serta persyaratan dalam batasannya.
  • Karena pada dasarnya, aktivitas perburuan sesuai dengan konsep bisa dilakukan di mana saja, baik pada kawasan pelestarian alam maupun suaka margasatwa, sepanjang mengikuti kaidah dasar perburuan.
  • Hanya saja, perlu diberikan regulasi tentang persyaratan dan batasan sebagai diferensial pengaturannya.
  • DPD RI berpendapat bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan untuk mencegah kelangkaan dan kepunahan keanekaragaman hayati dan mencegah penurunan keanekaragaman hayati baik di level ekosistem jenis maupun yang akan datang. Pada poin ini, perlu dijelaskan bahwa ditegaskan batasan tentang tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemda, pelaku usaha dan masyarakat tentang apa saja di dalam penyelenggaraan konservasi sumber daya alam dan hayati.
  • Selain itu, isu khusus yang perlu diperhatikan adalah pengaturan mengenai sumber daya genetik. DPD-RI berpendapat bahwa pengaturan tentang sumber daya genetik ini juga perlu untuk dimasukkan ke dalam RUU sebagai langkah lebih lanjut Pemerintah Indonesia telah meratifikasi protokol Nagoya melalui UU 11/2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (Protokol, Nagoya Tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati). Pengaturan atas sumber daya genetik. Menurut pendapat DPD-RI, juga menjadi signifikan sebagai pencegahan atas pencurian sumber daya genetik yang masih kerap terjadi di Indonesia.
  • Pengaturan tentang konservasi sumber daya alam hayati semestinya mampu untuk melindungi posisi strategis Indonesia sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
  • Terkait aspek konservasi, DPD-RI juga menggarisbawahi bahwa perbedaan yang kerap terjadi dalam pelaksanaan dari konservasi sumber daya alam hayati yang berbeda dari konsep pengaturannya.
  • Hal ini utamanya tampak pada pengelolaan sistem zonasi di dalam kawasan konservasi, dimana pada pelaksanaan selama ini terdapat isu permasalahan terkait dengan kewenangan pengelolaan yang tidak jelas, terutama ketiga perencanaan kegiatan konservasi ditetapkan pada tingkat pusat yang justru membatasi peran pengelola kawasan konservasi untuk lebih dinamis dalam pengelolaan konservasi sejak proses perencanaannya. Penyesuaian pendekatan pengelolaan di tingkat tampak terdapat kondisi lokal, ini sangat penting sehingga pengelolaan kawasan konservasi harus diberikan ruang adaptasi dan ruang improvisasi dengan tetap memegang teguh prinsip dan kaidah konservasi.
  • DPD-RI mendukung pengaturan mengenai medik konservasi secara lebih lanjut di dalam RUU ini, meskipun DPD-RI berpendapat bahwa pengaturan tentang medik konservasi sebaiknya diredaksikan secara lebih runtut lagi.
  • Medik konservasi diperlukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan tumbuhan dan satwa liar baik secara insitu maupun eksitu: menjaga keseimbangan kesehatan ekologi dan hubungannya dengan kesehatan manusia dan/atau mencegah terjadinya transmisi penyakit menular, gangguan kesehatan dan atau kecelakaan pada satwa liar. Pengaturan tentang hal ini tentu saja akan berdampak signifikan pada konservasi sumber daya alam hayati secara keseluruhan.
  • DPD-RI juga berpendapat bahwa pengaturan tentang zonasi perlu untuk dikonsepkan secara lebih mendalam lagi. Selama ini pengaturan tentang zonasi lebih berfungsi untuk memberi batasan legal dalam pengawasan dan penegakan hukum, sementara fungsi khusus dari konsep zonasi sebagai fungsi manajemen dalam pengelolaan kawasan konservasi tidak tercapai. DPD-RI berpendapat bahwa harus ada keseimbangan pengaturan antara dua fungsi tersebut.
  • Hal ini perlu secara cermat dirumuskan di dalam RUU, baik dari konsepnya maupun aspek pengelolaan. Pengaturan tentang konsep zonasi semestinya dikaitkan dengan tujuan fungsi dari pengelolaan konservasi, sementara dari aspek pengelolaan perlu dirumuskan apakah penetapan sejak zonasi semestinya menjadi kewenangan pemerintah atau cukup pada pengelola kawasan konservasi. Hal ini tentu saja akan berbeda aspek pengaturannya dalam hal penetapan zona tidak diserahkan pada Pemerintah tetapi lebih pada unit pengelola. Maka, semestinya batasan perlindungan hukumnya harus diperlakukan sama untuk seluruh wilayah dan zona.
  • Sebagai contoh, pada konsep Pengelolaan Taman Nasional semestinya fungsi pembentukannya dan konsep perlindungannya tidak dibagi-bagi dalam zona tertentu untuk memaksimalkan perlindungan dan pengelolaannya.
  • Terkait dengan perizinan, DPD-RI berpendapat bahwa konteks perizinan berusaha semestinya dapat diterapkan baik pada kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, maupun kawasan ekosistem penting lainnya.
  • Hal ini, utamanya didasarkan pada kenyataan bahwa di kawasan pelestarian alam KPA semisalnya, tidak hanya kegiatan yang terkait konservasi yang dapat dilakukan namun juga kegiatan lain seperti memanfaatkan panas bumi, hydropower energy perburuan maupun memanfaatkan jasa karbon untuk mitigasi perubahan iklim. Catatan yang perlu digaris bawahi menurut pendapat DPD-RI adalah perlunya pengaturan mengenai diferensiasi persyaratan batas hak dan kewajiban hukum yang melekat dalam memberikan hak pengusaha di masing-masing kawasan tersebut.
  • DPD-RI juga mencermati bahwa di dalam RUU Ini pengaturan tentang perizinan perusahaan belum meruntut dibahas dalam bab tersendiri, namun muncul pada banyak pasal yang tersebar dan tidak saling terkait.
  • DPD-RI berpendapat bahwa pengaturan tentang perizinan harus dituangkan di dalam bab tersendiri dan mengatur secara menyeluruh aspek perizinan yang ada.
  • Hal ini utamanya bahwa perizinan tidak hanya diperlukan di dalam pengelolaan atas kawasan konservasi, namun juga dalam pemanfaatan asas tumbuhan dan satwa. Pada isu yang kedua ini, aspeknya akan sangat luas apalagi jika menyesuaikan konsep internasional yang diusung oleh United Nation Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora.
  • Semisalnya terkait urusan perizinan, DPD-RI juga mencermati bahwa semestinya peraturan mengenai lembaga konservasi yang perlu dimasukkan dalam RUU. Pengaturan tentang lembaga konservasi di dalam sangat tidak lengkap, karena utamanya hanya membahas perizinan berusaha untuk wisata alam, padahal dalam kenyataannya peran lembaga konservasi dalam pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati sangat beragam dan banyak kegiatan.
  • Sementara itu, DPD-RI mencermati bahwa keterlibatan masyarakat belum diberikan proporsi pengaturan yang cukup berimbang antara masyarakat hukum adat, masyarakat sekitar kawasan konservasi, lembaga swadaya masyarakat di bidang konservasi sumber daya alam hayati, dan masyarakat secara umum yang berbeda hak serta tanggung jawabnya di dalam penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati.
  • Namun di dalam bab mengenai partisipasi masyarakat di dalam RUU, redaksi pasal hanya berfokus pada masyarakat secara luas yang cukup bias pengaturannya karena masyarakat di posisikan hanya sebagai pengguna dan pemanfaat saja.
  • Semestinya, keterlibatan masyarakat juga diberikan tingkatan partisipasi yang lebih jelas dari tahapan yang awal hingga kompleks dalam bentuk kemitraan pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati tersebut.
  • DPD-RI juga berpendapat bahwa semestinya terdapat pengaturan yang seimbang dan jelas antara partisipasi dan kemitraan di dalam RUU tentang keterlibatan pemangku kepentingan dalam konservasi sumber daya alam hayati seharusnya meliputi banyak pihak baik masyarakat maupun pelaku usaha. DPD RI memberikan apresiasi dan pengaturan tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di dalam RUU ini, meskipun DPD RI berpendapat bahwa pengaturan kewenangan ini semestinya lebih diberikan perbedaan dalam penjelasan antara batasan kewenangan yang bersifat umum dan pada level kebijakan dengan tugas yang bersifat teknis dan praktis di dalam penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati.
  • Menurut DPD-RI, pengaturan secara jelas tentang kewenangan ini beralasan karena dalam pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati sangat kompleks, termasuk apabila satu daerah memiliki dominasi wilayah yang masuk sebagai kawasan konservasi.
  • Misal, Kabupaten Lampung Barat yang notabene 78% wilayahnya berada di wilayah konservasi Taman Nasional Bukit Barisan, Kabupaten Malinau dengan Taman Nasional Kayan Mentarang, Kabupaten Kapuas Hulu dengan Taman Nasional Betung Kerihun, Danau Sentarum.
  • DPD-RI mengapresiasi peraturan tentang insentif yang dapat diberikan pada daerah dengan kondisi seperti ini, namun DPD-RI mencermati perlu adanya kejelasan bentuk insentif yang dapat diberikan.
  • Berdasarkan atas beberapa pandangan dan pendapat tersebut di atas, DPD-RI menegaskan pentingnya pengaturan tentang konservasi sumber daya alam hayati ini sebagai bentuk tanggung jawab bersama kita atas kelestarian alam Indonesia, baik untuk generasi saat ini maupun generasi yang akan datang. DPD-RI menyatakan siap untuk terlibat dalam pembahasan secara tripartit dalam rapat-rapat Panja atas RUU ini bersama DPR-RI dan Pemerintah.
  • Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa RUU ini sangat signifikan untuk diteruskan pembahasannya sebagai bentuk pengawalan atas masa depan masyarakat Indonesia dan juga dunia.
  • Oleh karena itu, DPD-RI menaruh perhatian yang sangat serius terhadap RUU ini dan sesegera mungkin akan menyampaikan DIM secara komprehensif.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan