Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Penjelasan Teknis terkait Program Kompor Induksi — Komisi 7 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirut PT. PLN

Ditulis Tanggal: 24 Oct 2022,
Komisi/AKD: Komisi 7 , Mitra Kerja: Dirut PLN

Pada 14 September 2022, Komisi 7 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirut PT. PLN mengenai Penjelasan Teknis terkait Program Kompor Induksi. RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Bambang Haryadi dari Fraksi Partai Gerindra dapil Jawa Timur 4 pada pukul 14:43 WIB. (Ilustrasi: sindonews.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Dirut PLN
  • Kami terjun ke lapangan menemukan bahwa subsidi LPG 3 kg ternyata subsidi yang terbuka. 
  • Sesuai dengan Permen ESDM 28 Tahun 2008 dan Kepmen ESDM 7436 Tahun 2016, maka penyaluran LPG adalah di Rp4.250 di agen penyalur. Kemudian, diturunkan ke pangkalan sampai ke warung, toko, dam pengecer dengan harga sekitar Rp5.500 sampai Rp7.000 per kilogram, sedangkan harga keekonomian dari LPG adalah sekitar Rp20.000 per kilogram.
  • Pengguna LPG 3 kg ternyata adalah pelanggan PLN yang kami sendiri sudah berusaha mengidentifikasi by name by address. Dalam hal ini golongan yang pertama adalah 450 VA yang DTKS sejumlah 9,6 juta. Kami sudah mengecek di lapangan bahwa 99,99% hampir semuanya menggunakan kompor LPG 3 kg. 
  • Untuk 450 VA non DTKS yang masih bersubsidi 14,8 juta. Ini 100% pengguna kompor LPG 3 kg dan di sini masih ada satu kelompok yaitu 900 VA yang masuk kategori keluarga miskin DTKS 8,4 juta, 100% menggunakan kompor LPG.
  • Untuk, itulah pelanggan listrik kami yang menikmati subsidi yang juga pengguna LPG 3 kg adalah 32,7 juta pelanggan. Kami mempunyai data mereka by name by address dan tagihan listrik mereka.
  • Dari dari survei kami di lapangan, pengguna 450 VA itu rata-rata menggunakan 2-3 tabung per bulan, sedangkan yang untuk 900 VA antara 3-4 tabung LPG 3 kg per bulan. Untuk pelanggan rumah tangga yang non subsidi, yaitu 900 VA non DTKS, yaitu sekitar 24,5 juta hampir 100% juga menggunakan kompor LPG 3 kg. 
  • Yang menarik adalah dari pelanggan yang non subsidi yang di atas 900 VA, yaitu 1.300 VA sebanyak 12,6 juta ternyata 75%-nya pengguna LPG 3 kg. Demikian pula pelanggan dengan 2.200 VA.
  • Jumlah pelanggan rumah tangga PLN yang menggunakan LPG 3 kg adalah sejumlah 69,5 juta pelanggan. Jumlah tersebut belum masuk pada pelanggan, yaitu UMKM yang kami juga tengarai menggunakan LPG 3 kg.
  • Kami sudah hadir di lapangan, antara pelanggan 450 VA yang DTKS, yaitu yang masuk keluarga miskin dan pelanggan 450 VA non DTKS, secara kasat mata ternyata sulit dibedakan. Dalam hal ini, kami mencoba clustering baik itu yang DTKS maupun non DTKS, karena dua-duanya adalah pengguna LPG 3 kg.
  • Begitu kami datang ke lapangan ternyata cukup sulit membedakan secara kasat mata dan ini ada indikasi bahwa pergeseran antara DTKS dan non DTKS mungkin on the border line, sehingga secara kasat mata tidak bisa dibedakan.
  • Survei dari Universitas Udayana bahwa 92,8% pelanggan non DTKS juga menikmati subsidi LPG 3 kg, kemudian survei dari LPPM UNS sekitar 98,0%. Dalam hal ini, kami melihat bahwa dengan data konsumen kelistrikan seperti ini data subsidi energi bisa kami tengarai dan identifikasi dengan by name by address serta pola konsumsi energinya per bulan, baik itu 450 VA yang DTKS, 450 yang non DTKS, 900 VA yang DTKS, 900 VA yang non DTKS, dan 1.300 VA sampai 2.200 VA. 
  • Untuk aplikasi dari kompor induksi ada misinterpretasi di luar seakan-akan bahwa kami menaikkan daya dan struktur tarif listrik yang ada di pelanggan-pelanggan kami karena mereka 450 VA. Untuk itu, ada instalasi lama yang menggunakan MCB yang reguler, yaitu 450 VA dan 900 VA, baik itu DTKS maupun non DTKS.
  • Kami juga ada kompor induksi yang menggunakan MCB jalur khusus, artinya tidak tersambung dengan pola konsumsi listrik menggunakan struktur daya terpasang maupun golongan tarif yang lama. Inilah yang membedakan antara kompor induksi dengan konsumsi rumah tangga.
  • Kami membedakan tagihan listriknya bahwa tagihan konsumsi rumah tangga dengan kompor LPG 3 kg. Misalnya, rumah tangga yang 450 VA, biasanya 2 tabung. Hal ini bisa dibandingkan dengan tagihan listriknya.
  • Uji klinis yang dilakukan pertama adalah kami melakukan metode clustering dan menengarai satu pelanggan kami yang masih menggunakan kompor LPG 3 kg. Yang sudah kami survei di satu lokasi, kami identifikasi pangkalan LPG-nya dan identifikasi 450 VA dan 900 VA DTKS. Kami pilih dengan menggunakan sistem clustering di mana nanti penerapan konversi dari kompor LPG ke kompor induksi ini bisa berjalan dengan baik.
  • Harga keekonomian dari kompor LPG 3 kg itu Rp19.698. Sesuai dengan Kepmen harga subsidi LPG dilepas ke masyarakat dengan harga Rp4.250, tetapi tentu saja ada rantai pasok dengan rata-rata yang dibayar masyarakat sekitar Rp5.250 per kg. Artinya, per kg LPG 3 kg ada subsidi sebesar Rp15.448 per kg dan harga keekonomian dari LPG berfluktuasi tergantung dari harga minyak mentah dunia.
  • Harga keekonomian listrik sudah di adjust terakhir adalah Rp11.792 per 1 kg listrik equivalent atau sekitar 7,19 KWH.
  • Dalam hal ini, kami melepas kemasyarakat biaya listrik untuk memasak 1 kg ekuivalen adalah Rp4.530 yang dibayar oleh masyarakat. Artinya, yang dibayarkan masyarakat akan lebih murah dan tentu saja masyarakat akan bisa merasakan bahwa menggunakan kompor induksi biaya memasaknya bisa lebih hemat sekitar 10-15% dibanding menggunakan kompor LPG.
  • Ada kekhawatiran dari masyarakat, kalau dayanya ditambah kemudian struktur golongan subsidi tarif listriknya digeser, itu sudah kami jawab bahwa ini tidak mengubah daya, tidak berubah struktur tarif listrik bagi golongan yang bersubsidi, baik itu 450 VA maupun 900 VA yang DTKS.
  • Arahan dari Rapat Kabinet Terbatas yang dipaparkan oleh Menko Perekonomian bahwa di tahun 2022 PT. PLN ditugaskan melakukan uji klinis sebanyak 300.000 kompor induksi dengan menggunakan anggaran dari PT. PLN.
  • Di tahun 2023-2025, ditambah 5 juta per tahunnya menjadi program pemerintah sebagai suatu strategi dan energi policy. Tentu saja, di sini ada subsidi LPG, ada penghematan subsidinya, ada pemberian kompor dan utensil kepada keluarga penerima manfaat, dan nett penghematan subsidinya. Jadi, kalau kita melihat bahwa ada biaya untuk konversi baik itu kompor dan utensilnya, tetapi begitu ini berjalan, maka setiap ada penggunaan KWH listrik yang menggunakan kompor induksi tentu saja ada penghematan biaya yaitu per kg LPG-nya yang dikonversi menjadi 1 kg listrik ekuivalen.
  • Penghematan biaya impor LPG dengan program konversi 15,3 juta pelanggan, yaitu di tahun 2028 adalah Rp10,2 Triliun per tahun.
  • Kami melakukan 2 lokasi uji klinis, yaitu di Solo dan Bali, masing-masing 1.000 kompor induksi. Kami bisa menyampaikan bahwa tidak ada satupun pelanggan yang menolak, karena kekhawatiran mereka yang awal mengenai penambahan daya. Begitu kami jelaskan bahwa ini tidak ada penambahan daya, mereka menanyakan listriknya dari mana. Kami jawab bahwa ini adalah listrik jalur khusus untuk kompor induksi. Jadi, nanti tagihan listriknya sama sekali tidak berubah dan kami tidak pernah mengubah dari 450 Va ke 900 VA. Hal ini bisa mendinginkan situasi yang ada di lapangan. 
  • Kami menyampaikan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dengan watt atau dayanya, yang terpenting biaya listrik untuk memasak akan lebih murah daripada biaya pengeluaran untuk pembelian LPG 3 kg.
  • Kami membangun Induction Stove Digital Service (ISDS) dari bagaimana kami melakukan modeling untuk targeting dari customer yang akan masuk dalam program. Kami juga melakukan survei dan penggantian MCB, yaitu membangun jalur khusus. Lalu juga penyerahan kompor dan peralatannya. 
  • Program konversi komponen induksi ternyata terbukti memberikan penghematan APBN walaupun ini masih dalam skala uji klinis sebanyak 2.000 sampling. Dengan pengurangan saving APBN sekitar Rp20 juta per tahun. 
  • Untuk program konversi tahun 2022, selama setahun akan ada proyeksi saving APBN sebesar Rp330 Miliar per tahun. Untuk tahun 2023, 5 juta KPM akan ada proyeksi saving APBN sekitar Rp5,5 Triliun per tahun. Savinv ini dari fakta bahwa per kilogram LPG biaya keekonomiannya adalah sekitar Rp20.000, sedangkan per kilogram listrik ekuivalen biaya keekonomiannya sekitar Rp11.300 per kilogram ekuivalen.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan