Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pembahasan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak - Rapat Panja Komisi 8 dengan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia

Tanggal Rapat: 29 Mar 2023, Ditulis Tanggal: 30 Mar 2023,
Komisi/AKD: Komisi 8 , Mitra Kerja: Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia

Pada 29 Maret 2023, Komisi 8 DPR-RI melaksanakan Rapat Panja dengan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia tentang pembahasan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Rapat dipimpin dan dibuka oleh Diah Pitaloka dari Fraksi PDIP dapil Jawa Barat 3 pada pukul 12.00 WIB. (Ilustrasi: UNICEF)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Ikatan Alumni Universitas Indonesia
  • ILUNI menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada anggota dewan atas inisiatifnya untuk melahirkan UU KIA yang diyakini memang sangat diperlukan dan penting karena jumlah kaum ibu dan anak di Indonesia banyak.
  • Kita masih mengalami bonus demografi dan semoga tidak sampai seperti hal yang dialami oleh Jepang maupun Cina dimana tren pertumbuhan penduduk mulai mengalami negatif, kita masih trennya positif.
  • Sepatutnya kuantitas yang tinggi harus diimbangi juga dengan kualitas yang juga memadai, untuk itulah penting juga untuk melahirkan RUU KIA ini walaupun juga perlu juga ada beberapa kritisi terkait dengan konten, harmonisasi dengan UU lain supaya tidak overlapping, tidak redundan atau betul tidak tempatnya di RUU ini atau justru di RUU lain.
  • Begitu banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ibu dan anak ataupun mengatur sebagian wilayah ibu dan anak seperti UU Perkawinan, kompilasi hukum Islam 1991, UU Kesejahteraan Anak, UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan PP 87/2014, UU Penyandang Disabilitas, dan UU Ketenagakerjaan.
  • Komentar ILUNI pasal per pasal dari draft yang kami dapatkan bulan Februari.
  • Pasal 2, perlu ditambahkan tentang asas gender karena sejatinya bicara masalah ibu dan anak tidak bisa dilepaskan juga dari peran ayah, peran suami juga peran anggota keluarga yang lain.
  • Pasal 3, perlu ditambahkan kata "seluruh anggota keluarga", jadi tidak hanya sekedar urusan ibu dan anak. Pasal 4 ayat 1, ILUNI usulkan supaya setiap ibu mendapatkan pendampingan, layanan psikologi, dan kesehatan jiwa.
  • Pasal 5, jangan hanya dibatasi dengan pemerintah pusat dan daerah tetapi juga masyarakat, ormas, dunia usaha, dan korporasi juga punya kewajiban yang sama.
  • Pasal 24, penambahan edukasi tentang ketahanan keluarga dan bahaya adiksi seperti adiksi pornografi, game online, gadget, rokok, napza, dan lain-lain.
  • Komentar ILUNI terkait DIM: Definisi ibu bekerja perlu diperjelas, apakah harus kantoran atau bisa bekerja mandiri atau informal atau pekerja rumah tangga.
  • DIM 61, sangat penting mendapatkan akses Penitipan Anak sementara yang terjangkau secara jarak dan biaya dan ini amat penting. DIM 67, besaran dan persentase cuti maternity harus kita sepakati bersama.
  • DIM 69, perlunya peran dari suami dan keluarga untuk mendampingi ibu dan anak, bahkan harusnya ada cuti ayah untuk mendampingi ibu.
  • DIM 86, sinkronisasi peraturan tidak mudah karena perempuan sebagai anggota TNI secara hukum dianggap equal egaliter, tetapi di lapangan belum tentu bisa di level yang sama.
  • DIM 102, ILUNI usulkan adanya advokasi sosial dan hukum. DIM 109, ILUNI menekankan penting menekankan peran ayah. DIM 113, perlu disinkronisasi angka menikah usia anak.
  • DIM 241, sebaiknya wordingnya penyelenggaraan kesejahteraan sosial atau pelayanan kesejahteraan sosial.
  • DIM 337, apakah UU TNI atau Polri mau menyesuaikan dengan RUU ini karena harus mengarusutamakan.











Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia
  • AIMI mengapresiasi adanya upaya untuk negara memperhatikan terkait cuti maternitas bagi para ibu-ibu dan AIMI mengapresiasi bahwa memang ada keinginan dari DPR-RI untuk membuat mengatur agar cuti maternitas itu memadai dan 6 bulan memang memadai. Tetapi, ada kekhawatiran dari AIMI karena dimasukkan dalam RUU KIA, apakah pengusaha nantinya mau mematuhi RUU KIA karena sanksinya juga tidak jelas.Mengapa kita tidak mengubah dari UU Ketenagakerjaan karena pasti akan lebih jelas dan lebih mudah untuk ditaati oleh para pengusaha.
  • Tentu juga harus menjadi catatan, bahwa negara-negara yang memberikan cuti maternitas memadai contohnya Vietnam, itu semua tidak dibebankan kepada pengusaha, jadi pengusaha tidak banyak penolakan karena ada peran pemerintah juga untuk mensubsidi pembiayaan gaji saat ibu-ibu itu menjalani cuti maternitasnya, jadi ini juga harus jadi pertimbangan dan apakah itu juga harus masuk ke dalam RUU KIA ini karena banyak yang tumpang tindih dengan UU yang sudah ada dan yang sudah berlaku saat ini.
  • Terkait Pasal 4, kenapa ini diatur di RUU KIA, mengapa tidak di UU Kesehatan, karena ini jelas harusnya diatur dalam UU Kesehatan.
  • Jadi penekanan-penekanan ini sepertinya lebih banyak mengatur ibu-ibu padahal kalau kita mau melindungi bisa dari cara yang lain yaitu dari UU yang sudah jelas, yang memang sudah berlaku daripada kita memberikan aturan-aturan yang nantinya juga sanksinya kita kebingungan sendiri dengan penekanan hukumnya.
  • Kita juga harus melihat tanggung jawab negara di mana, kalau diperhatikan, cuti maternitas itu pasti banyak sekali tantangan dari berbagai pihak, harusnya memang tertulis bahwa negara akan melakukan apa, misalkan mensubsidi biaya gaji karyawan, jadi tidak semua dibebankan kepada pengusaha, jadi supaya perempuan-perempuan ini tidak takut kehilangan kesempatan kerjanya.



Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan