Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual — Panja Komisi 8 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Prof. Euis Sunarti, Prof. Chairul Huda, dan Prof. Topo Santoso

Tanggal Rapat: 29 Jan 2018, Ditulis Tanggal: 22 Apr 2020,
Komisi/AKD: Komisi 8 , Mitra Kerja: Pakar/Akademisi — Prof. Euis Sunarti, Prof. Chairul Huda, dan Prof. Topo Santoso,

Pada 29 Januari 2018, Panja Komisi 8 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Prof. Euis Sunarti, Prof. Chairul Huda, dan Prof. Topo Santoso mengenai Masukan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Ali Taher dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dapil Banten 3 pada pukul 11:10 WIB.

Pengantar Rapat

RDPU ini diselenggarakan dengan merujuk kepada ketentuan pasal 20 A ayat 1 UUD NKRI 1945 yang menyebutkan: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam rangka menjalankan kewajiban konstitusional tersebut khususnya dibidang legislasi, maka Panja Komisi 8 DPR-RI ingin mendapatkan masukan

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pakar/Akademisi — Prof. Euis Sunarti, Prof. Chairul Huda, dan Prof. Topo Santoso

Prof. Euis Sunarti
  • Berikut tulisan ringkas berisi butir-butir yang akan disampaikan pada hari ini sesuai dengan tema pemaparan yang dimintakan oleh sekretariat Komisi 8 DPR-RI. Tulisan ini menguraikan 3 hal utama yaitu, urgensi pengaturan kekerasan seksual, akar masalah dan alternatif solusinya.
    • Urgensi pengaturan kekerasan seksual: jika dilihat dari berbagai laporan kekerasan seksual, terjadi eskalasi dan entitas kekerasan seksual sehingga dipandang penting upaya penghapusan kekerasan seksual. Kurang lengkapnya pengaturan hukum yang ada, salah satunya adalah Undang-Undang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), menjadikan alasan pentingnya RUU tentang P-KS untuk segera diundangkan. Urgensi pengaturan dalam RUU tentang P-KS berkaitan dengan pemikiran, pertimbangan, dan perwujudan yang dituangkan dalam naskah akademik dan draf RUU-nya.
      • Berikut adalah beberapa catatan yang dapat disampaikan; yang pertama dilihat dari naskah akademiknya, kemudian draf RUU, dan juga beberapa DIM yang disampaikan oleh beberapa pihak. Semangat yang diusung dalam RUU ini terkesan diskiriminatif, karena lebih dominan melindungi perempuan dari kekerasan seksual padahal salah satu asas pengaturannya adalah non-diskriminatif. Selama ini berbagai laporan kekerasan seksual lebih banyak dilaporkan terjadi pada perempuan, namun sebetulnya semua telah menyadari bahwa korban juga banyak dari laki-laki, walaupun itu jarang diangkat karena berbagai persoalan. Seharusnya kasus seperti ini diangkat secara seimbang tentang kekerasan terhadap laki-laki, apalagi kekerasan seksual terhadap laki-laki justru banyak muncul beberapa tahun terakhir, yang berdampak pada munculnya phobia dari orang tua yang memiliki anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Kami menduga, data-data kekerasan seksual kepada anak laki-laki memang tidak diangkat di dalam naskah akademik ataupun yang melatarbelakangi perumusan RUU P-KS karena seringkali terkait kejadian cabul sesama jenis yang tidak diatur normanya di dalam pengaturan dari diksi maupun bentuk jenis kekerasan seksual yang ada di RUU ini.
      • RUU P-KS secara eksplisit memang tidak ditujukan hanya kepada perempuan tetapi terhadap laki-laki juga. Namun, dalam konstruksi perumusannya menggunakan paradigma dan alat analisis feminis sebagai gerakan penyadaran bahwa perempuan itu terdiskriminasi, tertindas, dan menggunakan konsep kesetaraan gender yang menuntut kesamaan secara equal anatara laki-laki dan perempuan, bukan hanya dalam hal pendidikan dan kesehatan tetapi juga secara ekonomi dan hal tersebut diekspresikan dalam konsep mendasar mengenai definisi dan lingkup kekerasan seksual. Definisi tentang kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberi persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan atau politik, merupakan definisi yang sangat luas, jadi definisi tersebut menunjukan bahwa norma yang dijadikan landasan penetapan kekerasan adalah adanya pemaksaan atau ketiadaan persetujuan pelaku dimana persetujuan dianggap sebagai indikator kebebasan dan kebebasan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM), padahal dalam kondisi tertentu seperti adanya ketimpangan pengetahuan terdapat situasi yang memungkinkan satu pihak mendorong dengan keras pihak lain untuk melakukan suatu keputusan/aksi dengan tujuan perlindungan. Ini beberapa contoh yang diangkat di dalam naskah akademik yang justru menunjukan adanya ketidakkonsistenan terhadap penggunaan norma.
      • Dalam definisi tersebut dinyatakan penyebab kekerasan yaitu karena ketiadaan persetujuan dalam keadaan bebas terkait ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender hal tersebut muncul dikarenakan paradigma yang digunakan feminis adalah teori sosial konflik atau konflik sosial yang lebih mengedepankan pentingnya relasi kuasa atau kuasa sebagai indikator kualitas atau kemuliaan seseorang dan relasi gender dibandingkan paradigma sebaliknya yang dianut selama ini yaitu struktural fungsional, pengakuan adanya struktur dan fungsi sebagai konsekuensi dari keberagaman dalam kehidupan yang perlu dikelola secara bijaksana, harmonis dan keseimbangan. Jadi, yang menjadi sorotan adalah dasar di dalam kontruksi perumusannya.
      • Pengertian kekerasan seksual yang dikaitkan dengan akar penyebab adanya ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender dikaitkan dengan pandangan feminis yang memandang sistem patriarki itu dinyatakan di dalam naskah akademik sebagai sistem yang merugikan, mendiskriminasi perempuan sehingga berpotensi terjadinya kekerasan seksual kepada perempuan. Paradigma feminis ini menempatkan sistem patriarki di berbagai sistem kehidupan khususnya di level terbawah yaitu keluarga sebagai sistem dan kondisi yang harus dilawan dan dinegasikan. Dalam berbagai dokumen dan literatur paradigma feminis bahkan melihat keluarga atau rumah tangga dengan sistem patriarki, yaitu sistem yang melanggengkan pemasungan kebebasan perempuan dan menyebabkan perempuan tidak maju serta mencapai kesetaraan. Relasi kuasa dan gender terjadi dalam berbagai kondisi kehidupan laki-laki dan perempuan, namun yang paling utama itu ada di dalam keluarga atau rumah tangga dan untuk ini sebetulnya sudah ada Undang-Undang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang di dalamnya meliputi kekerasan seksual sehingga pengaturan kekerasan seksual sudah ada di dalamnya.
      • Kemudian, paradigma feminis yang digunakan sebagai landasan undang-undang ini akan menimbulkan konflik dan justru memperbesar potensi kekerasan seksual di tingkat paling inti yaitu keluarga atau rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan hilangnya paradigma struktural fungsional yang melekat dalam nilai dan budaya relasi antara laki-laki dan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat Indonesia. Hal tersebut dilembagakan dalam Undang-Undang tentang Perkawinan dan Undang-Undang tentang Pembangunan Keluarga.
      • Ditemukan pula inkonsistensi paradigma yang diusung di dalam RUU P-KS, dimana paradigma feminis dan kesetaraan gender dan asas non-diskriminasi ternyata gugur ketika di salah satu pasalnya mengutamakan perempuan dibandingkan dengan laki-laki atau mengabaikan laki-laki. Jadi, RUU P-KS walau tidak hanya ditujukan kepada perempuan dan anak perempuan namun dalam pengaturannya lebih fokus atau dominan ditujukan perlindungan kepada perempuan dan anak perempuan sebagaimana secara eksplisit dinyatakan di dalam naskah akademik sehingga untuk pendampingpun secara eksplisit diutamakan bagi perempuan. Padahal, selama ini gender equality justru menuntut agar perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki di berbagai hal dan hal ini sebetulnya pengakuan bahwa lebih cocoknya perempuan dibandingkan laki-laki sebagai pendamping pemulihan korban kekerasan.
      • Urgensi penghapusan kekerasan seksual juga hendaknya dilandasi oleh paradigma yang adil sehingga mengangkat pertimbangan kemanusiaan dan martabat manusia, alih-alih mengambil sudut pandang feminis yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang melakukan kekerasan dan mendiskriminasi perempuan.
      • Poin berikutnya adalah bahwa RUU P-KS bertujuan untuk perlindungan dari kekerasan seksual. Inti dari perlindungan adalah pencegahan sehingga pengaturan dalam RUU ini hendaknya memberi perhatian yang walaupun tidak lebih besar paling tidak sepadan di aspek pencegahan. Namun, pengaturan yang ada ini lebih banyak mengatur kepada penanganan yang kuratif, sementara pencegahannya masih sedikit. Hal ini kemudian menjadi tidak relevan.
      • Penghapusan kekerasan seksual didefinisikan sebagai segala upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual. Namun demikian, perhatian atau ruang lingkupnya lebih fokus atau lebih dominan kepada upaya kuratif dan pemulihan kepada korban sebagaimana dinyatakan dalam aspek menimbang. Fokus kepada penanganan dan pemulihan atau kuratif akan menyebabkan besarnya beban negara.
      • Penghapusan bermakna penghilangan, sehingga yang mendasar adalah mengelaborasi faktor penyebab dan cara menangani faktor penyebab tersebut. Penghapusan kekerasan seksual bermakna menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual. Oleh karena itu, perlu elaborasi lebih detail mengenai faktor penyebab dan solusinya. Sementara, di dalam draf RUU P-KS yang sudah ada belum menunjukkan elaborasi faktor kekerasan seksual dan upaya solusinya. Justru malah lebih fokus kepada penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Hal ini menunjukan ruang lingkup di dalam RUU P-KS yang belum memadai sebagaimana tujuan dan lingkup seharusnya.
      • Lingkup pengaturan kekerasan seksual juga ditunjukan oleh bentuk kekerasan, di dalam RUU P-KS mengatur 8 bentuk kekerasan dimulai dari pelecehan, eksploitasi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan/atau penyiksaan seksual. Di dalam pengelompokan bentuk kekerasan menunjukan ada ketidakkonsistenan dimana di satu sisi menunjukan perluasan makna kekerasan yang memasukan komponen penyimpangan seksual pelecehan ke dalamnya. Namun, di sisi lain mereduksi norma kekerasan seksual hanya terbatas kepada pemaksaan, sementara norma penyimpangan seksual yang lain seperti zina dan cabul sesama jenis tidak mendapat perhatian. Padahal, di dalam praktiknya banyak kekerasan seksual terjadi karena penyimpangan seksual berupa homoseksual dan zina.
      • Pelecehan seksual dinyatakan sebagai salah satu kekerasan seksual padahal tidak semua lingkup pelecehan seksual merupakan kekerasan seksual. Sebagaimana pengertian yang digunakan dalam RUU P-KS, pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan termasuk permintaan untuk melakukan seks dan perilaku lainnya yang secara verbal maupun fisik merujuk kepada seks. Dengan definisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat area pelecehan seksual yang berpotensi beririsan dengan kekerasan seksual namun sebagian lainnya dari lingkup pelecehan yang tidak dikategorikan kekerasan seksual. Artinya, bentuk pelecehan seksual tidak konsisten untuk dinyatakan sebagai salah bentuk kekerasan seksual.
      • Di sisi lain terdapat penyimpangan seksual yang norma dan perilakunya merupakan tindakan keji atau kejahatan namun tidak termasuk dalam pengaturan RUU P-KS karena tidak dikategorikan kekerasan seperti zina dan cabul sesama jenis yang sebagian normanya telah masuk dalam delik kesusilaan KUHP, dan perluasan maknanya di DPR sedang dalam proses pembahasan. Selain itu, berdasarkan lingkup dan pengertian yang digunakan dari analisis berbagai kejadian dan berbagai laporan menunjukan terdapat irisan keterkaitan antara berbagai bentuk penyimpangan seksual, oleh karenanya menjadi tidak lengkap ketika pengaturan hanya difokuskan kepada kekerasan seksual dengan penciri adanya situasi paksaan, namun tidak mengatur masalah penyimpangan seksual lainnya seperti zina dan cabul hubungan sesama jenis. Dari berbagai laporan menunjukan pentingnya untuk pengaturan kembali tentang lingkup yang diatur di dalam RUU P-KS. Bentuk yang paling dasarnya adalah bahwa penyimpangan seksual ada berbagai macam kelainan seksual seperti sodomi, transeksual, masokisme seksual, homoseksual, incest, voyeurism, transvestite, kumpul kebo, sadisme seksual, zina, dan pelacuran merupakan berbagai bentuk penyimpangan seksual yang sebetulnya beririsan dan kekerasan hanya merupakan bagian di dalamnya. Jadi, salah satu bentuk kekerasan dalam RUU P-KS adalah pemaksaan pelacuran yang menjadi contoh adanya ketidakkonsistenan di dalam penetapan butir atau bentuk kekerasan seksual. Pengaturan dalam RUU P-KS ditekankan kepada pemaksaannya, namun tidak mengatur bahwa pelacuran sebagai penyimpangan atau bahkan kejahatan seksual jika kita gunakan nilai dari agama. Jadi, ada ketidakkonsistenan ketika kita lebih melihat kepada pemaksaannya tetapi kita tidak melihat pelacurannya sebagai salah satu bentuk kekejaman ataupun kejahatan seksual.
      • Terdapat keterkaitan antara penyimpangan dan kekerasan seksual. Kekerasan seksual banyak terjadi dilakukan karena penyimpangan seksual, baik karena terkait orientasi seksual maupun karena perubahan perilaku seksual (karena perubahan gaya hidup). Oleh karena itu, penting pengaturan dengan norma yang lebih luas dengan memasukkan penyimpangan seksual yang mengandung kejahatan dan kekejaman di dalamnya termasuk zina dan cabul sesama jenis. Mengingat pentingnya pengaturan perlindungan dan penghapusan kekerasan seksual, maka RUU P-KS perlu menguraikan yang dimaksud dengan Sistem Perlindungan Terpadu (SPT), karena saat ini lebih mengedepankan Pelaksana Perlindungan Terpadu (PPT). Padahal di dalam RUU P-KS penting untuk mengutamakan menjelaskan SPT tersebut.
      • Terakhir urgensi dari pengaturan RUU P-KS adalah bahwa RUU P-KS menyediakan pengaturan perluasan dan penguatan peran serta kewenangan Komnas Perempuan yang berperan dalam pengawasan serta serangkaian aktivitas strategis untuk mendukungnya. Padahal, RUU P-KS seharusnya mengatur kekerasan bukan hanya terhadap perempuan, melainkan juga terhadap laki-laki sehingga kelembagaan ini juga penting untuk melihat mana yang lebih memadai. Kewenangan yang luas terhadap Komnas Perempuan dengan mengusung paradigma feminis dan memandang negatif kepada sistem patriarki akan mendatangkan kontra-produktif dan gesekan terhadap nilai-nilai yang dianut dalam keluarga masyarakat di Indonesia.
    • Akar permasalahan; jika melihat dari akar permasalahan, kekerasan ataupun nantinya kami usulkan istilahnya adalah penyimpangan atau kejahatan seksual. Jika melihat berbagai literatur eksplorasi data di lapangan, uji petik yang kami lakukan, dan expert judgement dari berbagai sumber data dan informasi.
      • Akar permasalahan yang pertama adalah patologi sosial, data kejadian penyimpangan, kekerasan, dan kejahatan seksual sesungguhnya menunjukkan fenomena gunung es, dimana yang muncul adalah bagian ujung yang mungkin sekitar 5% atau 10% dari kejadian yang sesungguhnya dan yang terluas adalah akarnya yaitu persoalan mendasar yang disebut dengan patologi sosial. Istilah ini di abad 19 dan 20 dapat didefinisikan oleh para sosiolog sebagai semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas, kekeluargaan, hidup rukun dengan tetangga, disiplin, kebaikan dan taat pada hukum formal. Masyarakat modern yang serba kompleks akibat kemajuan teknologi, seperti mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi dan yang terakhir akibat krisis memunculkan banyak masalah sosial hendaknya diakui ataupun di act knowledge dalam naskah akademik dan mendapatkan perhatian di dalam pengaturan draf RUU P-KS tersebut. Banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum atau berbuat semau sendiri demi kepentingan sendiri dan merugikan orang lain sebagai akibat kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment dari kebingungan, kecemasan, dan berbagai konflik yang dihadapi baik yang terbuka maupun yang tersembunyi secara eksternal maupun internal. Patologi sosial dan masalah sosial terjadi diantaranya akibat diferensiasi dan deviasi, lalu kedua hal tersebut memunculkan berbagai penyakit masyarakat antara lain individu sosiopatik, perjudian, korupsi, kriminalitas, pelacuran, dan mentalis disorder.
      • Akar permasalahan yang kedua adalah perubahan nilai dan gaya hidup. Baru-baru ini, kami mendapatkan berita tentang sekte seks di Bandung, kemudian juga perilaku swing (pergantian pasangan suami istri dengan suami istri yang lain), yang mana itu sudah lama terjadi di Indonesia. Semuanya menunjukan kepada perubahan nilai dan gaya hidup. Nilai-nilai ini sudah sangat luntur sehingga kemudian harus mendapatkan perhatian untuk mengenali upaya pencegahannya.
      • Akar permasalahan yang ketiga adalah kontestasi paradigma pengaturan di dalam Undang-Undang tentang Perkawinan dan Undang-Undang tentang Pembangunan Keluarga dengan paradigma feminis dan kesetaraan gender. Undang-Undang tentang Perkawinan dan Undang-Undang tentang Pembangunan Keluarga menganut paradigma struktural fungsional, pengakuan adanya struktur dan fungsi sementara kesetaraan gender dan feminis menganut paradigma sosial konflik yang berdasarkan kepada eksistensialisme dan materialisme serta melihat kualitas dan kemuliaan seseorang dilihat dari kekuasaan yang diperoleh dan materi yang diperoleh. Padahal, di dalam nilai-nilai budaya kita tidak demikian, melainkan adalah keharmonisan dan keseimbangan di dalam kehidupan.
      • Akar yang keempat adalah kerentanan individu, baik anak remaja atau dewasa, keluarga, dan masyarakat turut membuka bahkan memperbesar peluang kejadian penyimpangan, kekerasan, dan kejahatan seksual. Sebetulnya banyak sekali hasil penelitian yang tidak menjadi acuan di dalam naskah akademik sehingga tidak mendapatkan gambaran yang utuh terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual sehingga kemudian upaya pencegahan dan upaya solusinya yang harus dikenali dan diakui. Kerentanan tersebut berkaitan dengan pembangunan pada berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, sosial, budaya, infrastruktur, dan teknologi informasi yang sekarang begitu rupa dengan pornografinya yang meningkatkan ketidakstabilan, ketidakpastian, dan ketidakseimbangan aspek-aspek kehidupan. Inilah yang berkontribusi terhadap terjadinya berbagai ketidakseimbangan dan pelarian terhadap perilaku seksual menyimpang kehidupan di kota besar dengan berbagai dinamika struktur persaingannya sehingga dibawa kepada masyarakat yang berubah cukup besar persentase yang menghadapi turbulensi kehidupan kegalauan dan kegamangan pada situasi rentan yang rawan pada perilaku seksualnya. Pembangunan sumber daya manusia pendidikan agama sangat berkontribusi terhadap kerentanan individu keluarga tersebut.
      • Akar permasalahan yang kelima adalah penurunan, penerapan nilai dan dasar negara yaitu Pancasila, terutama dalam hal ini adalah sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menyediakan dasar acuan penerapan agama dan kebebasan beragama bagi pemeluknya. Penurunan dan pelunturan ini memberikan kontribusi terjadinya peningkatan eskalasi penyimpangan seksual di masyarakat.
      • Akar permasalahan yang terakhir adalah kebijakan dan pelaksanaan pembangunan yang dinilai kurang pro kesejahteraan keluarga dan masyarakat yang menyebabkan dinamika dan mobilitas yang tinggi telah membuka peluang penyimpangan seksual antar anggota keluarga. Jadi, biseksual, kekerasan seksual, dan berbagai penyimpangan seksual itu berkaitan dengan dampak atau residu pembangunan yang tidak pro terhadap kesejahteraan keluarga.
    • Alternatif solusinya; berbagai alternatif solusi penyimpangan, kekerasan, dan kejahatan seksual sebagai berikut:
      • Pertama adalah solusi umum terkait nilai dan norma kehidupan. Jika membedah berbagai faktor dari hasil kajian yang sebagian disampaikan di naskah tetapi sebagian lainnya belum dan dipandang perlu, maka sebetulnya pengaturan generik yang tidak harus melalui pengaturan undang-undang adalah mengembalikan dan menguatkan nilai luhur bangsa Indonesia dan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Kekerasan dalam bentuk apapun memang tidak dibenarkan namun perlu kehati-hatian dalam menetapkan lingkup dan kisaran pengertian kekerasan termasuk jenis kekerasan seksual.
      • Kedua adalah perluasan norma yang diatur dalam RUU menjadikan kejahatan seksual sebagai hal yang lebih tepat dibandingkan dengan mengatur kekerasan seksual tetapi kemudian juga diperluas dengan pelecehan seksual karena terdapat penyimpangan seksual yang terikat dan terkait dengan kekerasan dan terkategori kejahatan dan kekejaman dari norma agama yang dianut masyarakat Indonesia, sehingga tidak terjadi ketidakkonsistenan dimana RUU P-KS mengatur kekerasan pelacuran dan fokus kepada kekerasannya itu sendiri namun tidak mengatur pelacuran itu sendiri sebagai penyimpangan seksual.
      • Ketiga adalah peningkatan ketahanan keluarga sebagai salah satu upaya dalam solusi penghapusan kekerasan dan kejahatan seksual baik preventif maupun kuratif karena pengaturan hubungan intim antara laki-laki dan perempuan ada dalam UU perkawinan dalam rangka pembentukan keluarga sehingga persoalan hubungan seksual yang paling dasar ada di institusi yang paling dasar yaitu bernama keluarga. Dalam naskah akademik RUU P-KS, pembahasan implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur terhadap aspek kehidupan tidak menempatkan keluarga sebagai salah satu fokus perhatian padahal aspek kehidupan dan hubungan antar individu yang membentuk nilai sikap dan perilaku seksual ada di dalam keluarga.
      • Solusi yang sifatnya preventif, pertama, penyempurnaan perundang-undangan yang sudah ada mengenai larangan penyimpangan, kekerasan, dan kejahatan seksual yang utama adalah revisi KUHP dengan mengakomodir perluasan makna delik kesusilaan, zina, perkosaan, dan cabul sesama jenis.
      • Solusi preventif kedua adalah pembangunan yang menyejahterakan individu, keluarga, dan masyarakat berupa pencegahan menjadi pelaku dan korban penyimpangan.
      • Solusi preventif yang ketiga adalah penegakan hukum dan berbagai aturan untuk mereduksi dan menghilangkan faktor penyimpangan seksual seperti Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang-Undang tentang Pencegahan Pornografi dan Pornoaksi.
      • Solusi preventif yang keempat adalah peningkatan kepentingan individu keluarga, ketahanan keluarga, dan pembangunan masyarakat madani. Pada tataran mikro, pencegahan kekerasan mendorong hubungan yang harmonis kepada anggota keluarga (suami, istri, dan anggota keluarga lainnya) sehingga menurunkan risiko penyimpangan seksual. Oleh karena itu, sebetulnya penggunaan paradigma feminis dan gender equality sebetulnya kontra produktif dengan upaya-upaya struktural fungsional yang menjadi ideologi pembangunan individu dan keluarga yang diacu dalam Undang-Undang tentang Perkawinan dan Undang-Undang tentang Pembangunan Keluarga.
      • Solusi preventif yang terakhir adalah pengaturan aspek kuratif. Tentunya usaha yang represif dan kuratif ini dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menekan pelaku penyimpangan, kekerasan, dan kejahatan seksual serta penanganan dan pemulihan korban penyimpangan yang sebetulnya sudah diakomodir secara memadai di dalam RUU P-KS.
  • Berdasarkan poin-poin pemikiran yang telah diuraikan, maka kesimpulan terkait RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual menurut saya adalah sebagai berikut: 
  1. RUU P-KS masih dirasakan diskriminatif karena lebih dominan fokus kepada perempuan, mereduksi norma terkait penyimpangan seksual, belum proporsional pengaturan antara penanganan dan pemulihan korban dengan pencegahan, belum secara lengkap upaya pencegahan yang justru menjadi inti dari penghapusan kekerasan seksual. Hal tersebut terlihat di dalam naskah akademik yang belum mengelaborasi secara memadai faktor penyebab kekerasan seksual sebagai dasar pengaturan perlindungan melalui upaya pencegahan. RUU P-KS menggunakan paradigma feminis yang tidak sesuai dengan nilai atau norma yang dianut pada umumnya keluarga dan masyarakat Indonesia. Memberikan peran dan wewenang pengawasan kepada Komnas Perempuan yang notabene memiliki tupoksi terkait anti kekerasan kepada perempuan dan menempatkan laki-laki sebagai pihak yang membuat perempuan menjadi korban kekerasan.
  2. RUU P-KS dipandang perlu manakala diatur secara lebih holistik dalam penghapusan kejahatan seksual dengan paradigma dan pendekatan struktural fungsional dan berbasis pendekatan keluarga alih-alih pendekatan individu dan fokus kepada perempuan, serta keseimbangan pengaturan yang bersifat preventif, penanganan dan pemulihan dengan mendorong perhatian dan upaya yang lebih besar kepada upaya pencegahan dengan memuat pidana khusus seperti jenis kekerasan seksual. Jadi, dinyatakan bahwa kelebihan dari UU P-KS nantinya adalah memuat pidana khusus dengan memuat jenis kekerasan seksual, dan hendaknya diiringi faktor spesifik masing-masing jenis kekerasan seksual tersebut sehingga bisa memunculkan pencegahan yang lebih spesifik.
Prof. Dr. Topo Santoso
  • Ada beberapa poin mengenai RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, tetapi intinya ada 4 hal yaitu: pentingnya kerangka hukum tentang penghapusan kekerasan seksual, catatan tentang hukum pidana materil, catatan hukum pidana formil, serta perlunya sinkronisasi dengan undang-undang dan RUU yang sedang dibahas di DPR saat ini.
  • Mengenai pentingnya kerangka  hukum yang berkaitan dengan penghapusan kekerasan seksual, masalah ini menurut saya memang penting untuk dimiliki; satu undang-undang yang sifatnya komprehensif, tujuan utamanya adalah melindungi korban dan mencegah terjadinya korban kekerasan seksual. Adapun yang sudah tersaji di naskah akademik dan juga di dalam RUU P-KS sebetulnya dalam banyak hal berusaha untuk menyediakan suatu landasan hukum dan suatu kerangka hukum mulai dari pencegahan kemudian ada penguatan paradigma yang berpihak kepada korban dan juga mencegah terjadinya kekerasan seksual hingga pengaturan dalam pra ajudikasi, ajudikasi, hingga pasca ajudikasi. 
  • Kita sebetulnya melihat pengaturan yang berkaitan dengan kekerasan seksual sudah ada saat ini tetapi tersebar di beberapa undang-undang, misalnya jika diperiksa di KUHP, sudah cukup banyak tindak-tindak pidana yang mengatur mengenai kekerasan seksual seperti Pasal 285; perkosaan, persetubuhan dengan perempuan yang tidak berdaya, lalu ada persetubuhan dengan perempuan dibawah umur tertentu, pemaksaan dan pencabulan, dan lain-lain. Mungkin juga di undang-undang lain di luar KUHP juga diatur tetapi memang jika saya periksa di dalam RUU P-KS cakupannya cukup banyak. Mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang sebetulnya merugikan dan berbahaya yang saat ini belum diatur. Meskipun kerangka hukum yang berkaitan dengan penghapusan kekerasan seksual ini penting, sinkronisasi dengan undang-undang lain yang sedang dibahas di DPR juga sangat penting dilakukan. Misalnya, jika tidak salah informasi yang didapat bahwa DPR mungkin sedang ditahap terakhir untuk mengesahkan RUU tentang KUHP dimana ada pasal-pasal yang sebetulnya juga sebagian diatur dalam RUU P-KS. Jadi, perlu suatu kebijakan hukum dan kebijakan legislasi, mana yang akan digunakan sehingga tidak menyulitkan penegak hukum ketika memilih yang akan digunakan.
  • Hal lain yang ingin saya sampaikan adalah bahwa RUU P-KS sebetulnya mencakup 2 pendekatan utama dalam penanggulangan kejahatan yaitu, kebijakannya yaitu kebijakan penal (Penal Policy) dan kebijakan non penal (Non Penal Policy) dan Prof Topo sangat setuju dimana penanggulangan kejahatan khususnya yang dibahas adalah kekerasan seksual tidak bisa dibatasi hanya dengan memperbanyak perbuatan-perbuatan menjadi tindak pidana atau mengkriminalisasi terhadap banyak perbuatan, tidak cukup hanya itu karena banyak sekali KUHP yang mengatur kekerasan seksual didalamnya, kenyataannya masih banyak terjadi sehingga pendekatan non penal yang harus disorot dan diatur lebih banyak. RUU P-KS sebetulnya sudah mengatur dalam banyak aspek, pencegahan dan sikap serta tindakan dari aparat penegak hukum menghadapi korban kekerasan seksual juga diatur secara cukup detail. 
  • Menurut hemat Prof Topo, RUU P-KS sejalan dengan satu teori dalam kriminologi yaitu teori routine activity, dimana kejahatan khususnya dalam konteks ini adalah kekerasan seksual terjadi karena bertemunya 3 hal di dalam satu kesempatan, satu waktu, dan satu tempat yang sama yaitu yang pertama adalah adanya korban yang menjadi target dari kejahatan ini disini sebetulnya tidak harus perempuan tetapi juga bisa laki-laki, anak kecil, dan sebagainya. Kemudian, seorang atau beberapa orang pelaku yang memiliki motivasi melakukan kejahatan dan itu bisa terjadi dengan banyaknya dorongan-dorongan dengan banyaknya situasi sosial, ekonomi, budaya, komunikasi, media massa, dan sebagainya yang sangat gencar itu bisa mendorong orang menjadi motivated offender atau orang yang memiliki motivasi melakukan kejahatan seksual, kekerasan seksual. Aspek untuk mencegah agar orang tidak muncul menjadi motivated offenders dan mendorong terjadinya peningkatan kontrol, pengamanan, dan sebagainya itu perlu dilakukan sehingga menurut Prof Topo dalam konteks mewujudkan suatu undang-undang mengenai kekerasan seksual ini juga penting.
  • Walaupun tujuan dari RUU P-KS penting, perbaikan-perbaikan terhadap RUU P-KS mutlak diperlukan. Misalnya di dalam konteks hukum pidana materil ada banyak sekali menjadikan beberapa perbuatan menjadi tindak pidana. Subjek tindak pidananya juga sangat luas, misalnya subjek tindak pidananya bukan hanya pelaku kekerasan seksual tetapi juga polisi yang tidak melaksanakan suatu norma tertentu menjadi melakukan suatu tindak pidana, jaksa, hakim serta banyak pihak lain yang bisa menjadi subjek tindak pidana yang sebetulnya sudah diatur dengan undang-undangnya masing-masing. Ketika polisi melalaikan tugasnya, ketika jaksa melalaikan tugasnya, ketika hakim melalaikan tugasnya, itu masing-masing sudah ada undang-undang yang mengaturnya. Jadi, tidak perlu semua penegak hukum, semua institusi dan lembaga yang terkait yang tidak melaksanakan undang-undang ini lalu dijadikan tindak pidana.
  • Lalu yang berikutnya harus ada kejelasan bentuknya tindak pidana formil atau materil. Mengenai pidana materiil, Prof Topo ada catatan; pertama, disini semua disebutkan pidana, ada Bab mengenai pidana saja padahal sebetulnya isinya pidana dan tindakan. Jadi, pidana artinya penjara, kurungan, dan denda, tetapi untuk denda sejauh yang Prof Topo lihat tidak ada, adanya ganti rugi dan Prof Topo memiliki catatan tersendiri mengenai pengertian ganti rugi disana. Jadi, ini istilahnya double track sistem pidana dan tindakan.
  • Mengenai pola pemidanaan minimal khusus yang kita kenal dalam hukum pidana ada pola pemidanaan yang maksimum khusus, minimum umum, dan minimum khusus. RUU P-KS perlu ditinjau lagi, ini hampir semua atau mungkin semuanya ada minimum khusus dan minimum khususnya sangat tinggi yang mana Prof Topo belum mendapati di undang-undang lain. Minimum khusus tertinggi seingat Prof Topo adalah Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu 5 tahun itupun dilanggar oleh hakim karena hakim tidak mau terikat dengan ancaman minimum khusus yang sangat tinggi karena itu mengurangi kemerdekaan hakim dalam menentukan berat/ringannya hukuman. Di RUU P-KS minimum khususnya ada yang 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun, bahkan 10 tahun, sangat tinggi sebagai suatu ancaman minimum khusus karena maksimumnya pun hanya misalnya 12 tahun, hampir setengahnya. Jadi, kemerdekaan atau independensi hakim atau diskresi hakim dalam memutuskan berat/ringannya menjadi sangat terkurangi jika ancaman minimum khususnya tinggi. Memang minimum khususnya diperlukan untuk mengurangi disparitas pidana, tetapi ketika minimum khususnya sangat tinggi mendekati maksimum khusus yang diancamkan itu akan membuat hakim menjadi kesulitan dalam menentukan.
  • Tuntutan pidana ganti rugi, di dalam RUU P-KS ada pidana berupa ganti rugi yang diajukan oleh jaksa. Jadi, pertanyaannya sanksi pidana atau sanksi perdata, karena jika yang dimaksud sanksi pidana seharusnya mungkin denda yang dimaksud penjara, kurungan, atau denda. Namun, jika ganti rugi itu sanksi dalam perdata kecuali memang di KUHAP kita mengenal adanya penggabungan antara tuntutan pidananya dan ganti ruginya tetapi itu dalam hal ada orang yang merasa dirugikan karena adanya tindak pidana yang dilakukan. Jadi, tetap ganti ruginya sanksi perdata, bukan sanksi pidana.
  • Intinya Prof Topo sepakat dengan apa yang diinginkan di dalam RUU P-KS yaitu semua pihak, khususnya semua pihak yang ikut menangani kasus kekerasan seksual tidak menimbulkan penderitaan baru bagi korban sehingga baik penyidik, penuntut, hakim, dan petugas yang lain itu jangan sampai mengeluarkan statement atau pernyataan yang semakin merendahkan korban, menghina korban, menimbulkan trauma kepada korban dan sebagainya. Hal itu cukup baik diulas tetapi ada beberapa catatan mengenai hukum acaranya. Sebelum ke hukum acaranya, mungkin sedikit catatan saja di sistematikanya untuk lebih diperbaiki khususnya pada bagian ruang lingkup yang di dalamnya ada pencegahan, penanganan dan seterusnya, tetapi disitu terpisah, misalnya untuk pencegahan 1 Bab diikuti dengan banyak pasal tetapi kemudian loncat ke tindak pidana dan kemudian masuk ke yang lain-lain, lalu belakangan baru muncul untuk penanganan dan seterusnya.
  • Kemudian yang menjadi pertanyaan lagi adalah RUU P-KS jika dalam konteks legislasi pidana itu sudah ada undang-undang pidana khusus di luar KUHP seperti korupsi, terorisme, dan sebagainya, tetapi ada juga undang-undang non-pidana yang punya muatan pidana. Menurut Prof Topo, sedikit tidak jelas arah dari RUU P-KS.
  • Terkait hukum acara tentang keterangan 1 saksi dan 1 alat bukti lain cukup membuktikan kesalahan terdakwa dalam 1 pasal, jika tidak salah pasal 45. Menurut Prof. Topo hal tersebut perlu ditinjau ulang mengenai yang dimaksud 1 saksi dan 1 alat bukti lain yang sah karena ada kata-kata yang sah itu menjadi sangat penting.
  • Lalu, terkait persidangan tanpa hadirnya korban, Prof. Topo setuju dengan teleconference karena hal tersebut juga diterapkan dalam tindak pidana lain tetapi kalau dengan rekaman Prof. Topo kurang setuju. Jadi, ketika persidangan dilakukan melalui rekaman saja, tentu ini menjadi sulit bagi hakim karena hakim yang akan menanyakan kepada si korban walaupun dia ada di tempat lain. Jadi, jika menggunakan teleconference masih bisa terjadi dialog antara hakim dengan korban yang ada di tempat lain, sedangkan jika hanya rekaman tidak ada dialog untuk mendalami karena yang ingin dikejar adalah kebenaran materiil.
  • Terakhir, mengenai eksklusif putusan, jika tidak salah di Pasal 70-an eksklusif putusan dilakukan 2x24 jam, Prof. Topo menyarankan untuk diperjelas misalnya 2x24 jam atau 2 hari kerja, karena jika putusan dibacakan hari Jumat, besoknya Sabtu dan Minggu libur jadi tidak bisa dijalankan.
Prof. Dr. Chairul Huda
  • Dalam peraturan perundang-undangan biasanya sebuah undang-undang yang modelnya seperti RUU P-KS lebih cenderung ditempatkan sebagai undang-undang administratif karena jika mau dikatakan sebagai undang-undang pidana biasanya menggunakan istilah Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, contoh seperti Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Terorisme. Jadi istilah Pemberantasan Tindak Pidana itu nomenklatur yang biasa digunakan untuk menggambarkan bahwa substansi dari undang-undang pidana.
  • Undang-undang administratif mempunyai sifat yang teratur. Jika undang-undang pidana biasanya lebih banyak melarang, maka undang-undang administratif sifatnya lebih mengatur sehingga pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan adalah apakah dengan demikian artinya legislator ingin mengatur kekerasan seksual atau tidak. Prof Huda sangat yakin bahwa yang ingin di introduce dalam RUU P-KS justru melarang, maka judul undang-undangnya itu sebaiknya Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jadi, menurut Prof. Huda dengan judul tersebut lebih tegas daripada menggunakan nomenklatur “penghapusan”.
  • Persoalan yang berkaitan dengan kekerasan seksual seharusnya tidak lagi ditempatkan menjadi sebuah persoalan hak tetapi memang sebuah perbuatan yang dilarang. Prof. Huda yakin bahwa Anggota Komisi 8 DPR-RI memahami kekerasan seksual merupakan perbuatan yang tercela, dalam nomenklatur hukum pidana ini disebut Mala Per Se jadi bukan Mala Prohibita, bukan tercela karena dilarang oleh undang-undang, tetapi memang kekerasan seksual ini pada hakikatnya memang tercela. 
  • Prof. Topo tadi dalam pemaparannya sudah mengemukakan perlunya harmonisasi dengan RUU yang mungkin sebentar lagi akan disahkan seperti RUU KUHP yang mana itu akan menjadi sangat penting.
  • Delik-delik yang disebut sebagai kekerasan seksual ini sudah ada pengaturannya dalam beberapa undang-undang, jika nantinya RUU P-KS disahkan menjadi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terjadi overcriminalization atau tidak. Pertimbangan hal tersebut menjadi penting, jangan sampai menjadi overcriminalization karena jika overcriminalization pada gilirannya akan menyulitkan dalam penegakannya dan hal itu menjadi sebuah komoditas sendiri di kalangan penegak hukum, untuk memilah-milah undang-undang mana yang bisa dipakai. 
  • Ketika Prof. Topo juga menggambarkan banyaknya sanksi pidana baru dan penerapan minimal khusus yang sangat tinggi justru selain overcriminalization juga menjadi overpenalization. Prof. Huda menyoroti, jika ini terus dilanjutkan pembahasannya dan kemudian disahkan menjadi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pemberantasan Kekerasan Seksual dengan ancaman pidana yang seperti tadi sudah digambarkan Prof. Topo, maka kritik terhadap persoalan ini adalah adanya overcriminalization dan overpenalization.
  • Para ahli hukum terutama ahli hukum pidana menanyakan terkait langkah menetapkan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana dan kemudian memberi sanksi pidana sebagai sebuah penyelesaian terhadap suatu persoalan. Kita tahu bahwa masalah kekerasan seksual sebuah masalah tetapi langkahnya dengan menandakan kriminalisasi dengan menggunakan sarana penal (dengan menggunakan hukum pidana), bahkan dengan sanksi yang berat ini merupakan suatu penyelesaian atau tidak. Jangan sampai kita membuat undang-undang dan membuat tindak pidananya tetapi tidak kemudian berdampak positif terhadap upaya menghapuskan perbuatannya. Hal tersebut yang harus dipertimbangkan karena kami yakin para anggota dewan pernah juga mengenal istilah ultimum remedium bahwa selalu hukum pidana itu digunakan sebagai alat pertahanan sosial paling akhir karena setelah itu tidak ada lagi yang bisa digunakan. Jadi, apa tidak sebaiknya mengefektifkan langkah-langkah non-penal (non hukum pidana) dan memanfaatkan ataupun memaksimalisasi sarana penal yang sudah tersedia. Artinya, jika RUU ini ingin dilanjutkan, Prof. Topo tadi sudah mengemukakan bahwa salah satu bagian penting dalam mendekati masalah kejahatan sekarang adalah masalah pencegahan, kenapa RUU ini fokusnya tidak pada persoalan pencegahan saja yang menjadi pion dari cakupan hukum pidana, karena bisa jadi akar masalahnya bukan kurangnya sanksi atau bukan ringannya sanksi, sanksinya berat pun tindak pidananya masih banyak terjadi. Contohnya narkotika, sanksinya berat sampai dengan pidana mati tetapi tindak pidananya makin banyak terjadi karena nilai ekonomis yang begitu besar yang tidak disentuh dalam persoalan itu justru menyebabkan semakin maraknya dari tindak pidana tersebut.
  • Menurut Prof. Huda, masalah-masalah sosial dan masalah-masalah budaya termasuk agama, jauh lebih menonjol daripada persoalan hukum pidananya. Prof. Huda menyarankan agar RUU P-KS khusus membicarakan masalah pencegahan kekerasan seksual dan perlu menambahkan sanksinya. Contohnya, di dalam RUU P-KS diatur lebih banyak masalah pencegahan lalu kemudian ditambahkan beberapa pasal di belakangnya yang menunjukan bahwa terhadap kasus tindak pidana kekerasan seksual dapat ditambahkan sanksi ganti kerugian selain sanksi pidana penjara, denda, ataupun yang sudah ada di dalam banyak undang-undang. Jadi, cukup menambahkan seperti itu saja untuk menunjukan sensitivitas terhadap masalah ini tetapi fokusnya lebih banyak masalah pencegahan.
  • Kita selalu berbicara tentang penjatuhkan sanksi yang seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual, tetapi kita tidak pernah menata dan membenahi masalah sosial budaya kita yang menjadi sumber dari timbulnya hal tersebut. Berbagai macam kasus kekerasan seksual banyak terjadi karena partisipasi korban, makanya dalam kriminologi namanya victim participation. Kenapa kemudian kita tidak melakukan penguatan terhadap potensial victim, agar calon korban tidak jadi korban. Sesuai dengan falsafah bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati sehingga seharusnya kita fokusnya lebih banyak pada persoalan-persoalan pencegahan. 
  • Beberapa kejahatan seksual yang menyangkut perilaku penyimpang deviasi seksual justru banyak terjadi karena masyarakat yang tidak terlalu peduli terhadap persoalan-persoalan menyimpang.
  • Prof. Huda menginginkan agar RUU P-KS lebih banyak bicara pada persoalan pencegahan seperti melakukan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya adanya kekerasan seksual daripada melakukan kriminalisasi dan penalisasi terhadap tindak pidana atau perbuatan itu karena sebenarnya sudah banyak di dalam undang-undang.
  • Prof. Huda memberikan contoh yang tadi dikemukakan oleh Prof. Topo terkait masalah-masalah dari aspek hukum pidana materiIl dan formil yang sudah ada dalam RUU P-KS. Dalam Bab 5 dengan judul Bab Tindak Pidana Kekerasan Seksual, secara teoritik yang namanya tindak pidana harus terdiri dari subjek sebagai sasaran norma, lalu perbuatan yang dilarang atau strafbaar dan perbuatan yang dikehendaki atau strafsoort, dan terakhir yaitu jenis dan jumlah sanksi tetapi apa yang ada di dalam RUU P-KS ada subjek yang perbuatannya dilarang tetapi tidak ada sanksinya. Jadi, sebenarnya judulnya tindak pidana kekerasan seksual tetapi yang diatur normanya belum menjadi sesuatu tindak pidana yang utuh walaupun di belakang ada tetapi tidak begitu cara merumuskannya.
  • Sesuatu yang diperlukan dalam melakukan kriminalisasi terutama sehubungan dengan strafbaar adalah unsur-unsur. Banyak istilah unsur-unsur pidana atau elementen atau bestanddeel delict atau kenmerk delict
  • Suatu rumusan tindak pidana bukan menegakkan definisinya tetapi menegakkan unsur-unsurnya atau mencocokan perbuatan konkret yang terjadi dengan unsur-unsurnya. Menurut Prof. Huda, secara teknis belum banyak diperhatikan oleh tim perancang dari RUU P-KS bahwa akan ada masalah yang berhubungan dengan penerapannya nanti. Misalnya, jika tejadi pelecehan seksual, apa unsurnya pelecehan seksual. Jadi, bukan hanya definisi pelecehan seksual saja yang diperlukan melainkan unsurnya juga penting seperti unsur subjektifnya, unsur objektifnya, unsur motifnya, unsur straf modusnya, unsur kondisinya, unsur komisinya, dan unsur akibatnya. Itu semua belum tertata dengan baik di dalam rumusan pasal-pasal RUU P-KS sehingga kesulitan dalam penegakkannya nanti.
  • Pasal 12 mencoba merumuskan delik pelecehan seksual sebagai delik materiil karena disitu dipersyaratkan adanya akibat, tetapi akibatnya sesuatu yang mudah sekali hilang atau bahkan sulit dibuktikan, contohnya akibat merasa terhina. Apakah orang terhina lalu benjol kepalanya? Apakah orang terintimidasi lalu sobek mukanya? Tentu tidak, sehingga nanti dalam pembuktian sangat sulit. Itu merupakan contoh yang dilarang timbulnya akibat tetapi akibat itu sesuatu yang tidak mudah dibuktikan bahkan tidak bisa dibuktikan atau mudah hilang. Seharusnya rumusan delik pelecehan seksual itu bukan delik materiil tetapi delik formil sehingga tidak perlu timbulnya akibat. Jadi, pembuktiannya ada pada kelakuan tertentu bukan akibat dari kelakuan tertentu. 
  • Pasal 13 tentang eksploitasi, di dalam RUU P-KS dilakukan eksploitasi bisa dengan kekerasan dan bisa dengan bujuk rayu. Perbuatan yang favorable dengan unfavorable itu dibuat dalam suatu rumusan lalu diberi ancaman pidana yang sama. Padahal seharusnya diperlakukan secara berbeda. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan secara favorable dengan kekerasan semestinya harus diancam pidana lebih berat daripada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan tidak adanya kekerasan, contohnya dengan tipu daya, pembohongan, dan seterusnya. Overpenalization sebenarnya perbuatannya bisa dikategorikan ringan tetapi karena rumusannya dalam satu pasal kemudian timbul masalah di dalam praktiknya.
  • Terdapat rumusan-rumusan yang sukar dimengerti seperti Pasal 14, pemaksaan kontrasepsi. Disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan dalam perbuatan mengatur atau menghentikan organ atau alat reproduksi, itu maksudnya seperti apa. Mengatur itu konotasinya positif, tidak boleh perbuatan mengatur yang konotasinya positif menjadi kriminalisasi. Kriminalisasi syaratnya perbuatan itu harus negatif. Jadi, misalnya mengatur kehamilan dengan pemasangan alat kontrasepsi akan masuk delik ini, padahal itu adalah perbuatan legal. Plihan kata dalam membuat rumusan delik juga harus diperhatikan dimana konotasi katanya harus negatif, atau ditambahkan kata lain yang berkonotasi negatif. Menurut Prof. Huda, banyak rumusan dalam RUU P-KS yang kata-katanya sangat netral sehingga kemudian dalam penerapannya ada orang yang ingin menggunakan hak-nya juga ikut dijanggal dari delik ini.
  • Dalam Bab 8 yang memuat ketentuan pidana justru isinya ada yang menyangkut masalah hukum acara. Masalah hukum penitensier (pelaksanaan pidana) tidak semata-mata sanksi pidana, padahal mengenai masalah hukum pidana biasanya dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Biasanya dalam hukum acara yang diatur di Bab sendiri hanya mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan. 
  • Dalam hal delik administratif yang ada hanya rumusan mengenai sanksinya saja karena perbuatan administratifnya ada di dalam norma yang lain yang kemudian menimbulkan konsekuensi juga di dalam penerapannya terutama adalah yang terkait dengan berbagai undang-undang yang lain. Misalnya di Pasal 88, 89, dan 90 hukum penitensier, dan 86 itu hukum acara, jadi bercampur pengaturannya dalam satu Bab.
  • Prof. Huda setuju dengan pernyataan Prof. Topo bahwa sistematikanya lompat-lompat. Terdapat pula pengaturan berkenaan dengan jenis-jenis pidana, padahal sebenarnya jenis pidana sudah ada di dalam undang-undang lain termasuk diantaranya KUHP, dikhawatirkan nantinya akan menimbulkan konsekuensi yang berhubungan dengan eksekusinya. 
  • Terkait pelaksanaan penjara yang dimaksud di dalam RUU P-KS juga tunduk dengan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kesulitan. Jadi, jika sanksinya sudah ada dalam banyak undang-undang yang lain, di dalam RUU P-KS tidak perlu diatur sendiri. Jika ingin dilakukan pemberatan cukup pemberatannya saja. 
  • Terdapat juga istilah-istilah di dalam RUU P-KS yang menimbulkan mispersepsi. Misalnya judul RUU-nya pidana pelecehan seksual, pidana eksploitasi seksual, pidana pemaksaan kontrasepsi, dan seterusnya, berarti sama dengan pidana penjara, pidana kurungan, dan/atau pidana denda. Jika seperti itu, berarti ada jenis pidana baru yang namanya pelecehan seksual. Jadi, penggunaan istilah yang tidak tepat dalam judul RUU inilah yang menyebabkan timbulnya mispersepsi.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan