Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Dokter Layanan Primer (DLP), dan RUU tentang Praktik Pendidikan Kedokteran — Komisi 9 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan IDI Jawa Barat

Tanggal Rapat: 23 May 2016, Ditulis Tanggal: 26 Mar 2021,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan IDI Jawa Barat

Pada 23 Mei 2016, Komisi 9 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Prof. Ilham Oetama Marsis (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia) dan Ketua IDI Jawa Barat mengenai Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Dokter Layanan Primer (DLP), dan RUU tentang Praktik Pendidikan Kedokteran. RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Dede Yusuf Macan Effendi dari Fraksi Demokrat dapil Jawa Barat 2 pada pukul 10.17 WIB. Namun, diskors terlebih dahulu selama 10 menit, karena anggota rapat belum memenuhi quo room. (ilustrasi: klikdokter.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan IDI Jawa Barat

Prof. Ilham Oetama Marsis (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia) 

  • Pembahasan mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada rapat kali ini adalah lanjutan Rapat Dengar Pendapat pada tahun 2015, dalam program JKN ini Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) membuat Buku Putih yang dapat digunakan sebagai acuan penilaian pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 
  • Dalam rangka keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), diharapkan Pemerintah dapat mengadakan diskusi terbuka dengan mengundang pihak terkait dalam membahas Program JKN.
  • Terkait dengan Program Dokter Layanan Primer (DLP), hal tersebut menimbulkan permasalahan dengan membuat 2 (dua) kasta yang berbeda dalam dunia kedokteran dan memunculkan sejumlah konflik horizontal antar-dokter. 
  • Pembahasan mengenai Dokter Layanan Primer (DLP) telah mencapai titik jenuh, contohnya pada pertemuan 23 Maret 2016 yang tidak mendapatkan hasil yang signifikan. Begitu pula pada pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Presiden pada 28 Januari 2016, jeritan pihak PB IDI mengenai program Dokter Layanan Primer seolah diacuhkan. 
  • Tak berhenti disitu, Kongres yang dilangsungkan oleh pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam muktamar ke-29 di Medan 18-22 November 2015, konsep Dokter Layanan Primer (DLP) ini ditolak oleh Komisi Pendidikan.
  • Permasalahan yang ditimbulkan pada Program Dokter Layanan Primer (DLP) adalah tuntutan Pemerintah yang mengharuskan para dokter menguasai setidaknya 155 kompetensi dalam 4 level penanganan penyakit yang berbeda. 
  • Ketika Dokter Layanan Primer (DLP) dapat bekerjasama dengan BPJS-Kesehatan dalam menangani ke 4 level kompetensi tersebut, Dokter Umum harus bersekolah kembali selama beberapa tahun untuk mendapatkan pengakuan dalam menguasai ke-4 level kompetensi tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya transformasi dalam pendidikan kedokteran di Indonesia.
  • PB IDI menyatakan bahwa mereka selalu beradaptasi dengan kondisi yang berbeda, hanya saja Program DLP ini butuh penyesuaian operasional. Tidak hanya dapat beradaptasi pada program DLP, PB IDI telah melakukan penyesuaian dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), permasalahan kriminalisasi dalam dunia kedokteran, dan kekalahan Judicial Review (JR) Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran.
  • Untuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, PB IDI merasa perlu amandemen pada pasal 7 yang membahas mengenai kategorisasi profesi dokter dan Program Dokter Layanan Primer (DLP).
  • Program DLP sebagai sebuah profesi baru seharusnya tidak mengambil alih lapangan kerja profesi lainnya seperti profesi dokter keluarga dan dokter umum. Jika profesi dokter keluarga, dokter umum, dan dokter layanan primer bertugas sebagai dokter yang melaksanakan peran pertama dalam mendiagnosa pasien, kemungkinan yang akan terjadi adalah dokter umum akan tersingkir, karena kompetensi yang dimiliki berbeda dengan DLP. Sebaiknya, Program DLP ini diterapkan di daerah perbatasan yang masih kesulitan dalam meningkatkan kesehatan masyarakatnya dan para DLP di daerah perbatasan ini diberikan dana yang lebih besar dibandingkan daerah-daerah perkotaan.
  • Mengenai Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), PB IDI sudah mengikuti konvensi MEA di Bangkok dan Singapura membahas mengenai penyamaan kurikulum atau standar dokter spesialis dan dokter umum di Asia Tenggara. Dari konvensi tersebut ditemukan sebuah masalah dimana masing-masing negara yang mengikuti MEA memiliki kesenjangan dalam teknologi dan pengetahuan. Di Indonesia sendiri pendidikan kedokteran masih tertinggal jauh oleh negara Filipina dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh alat-alat dokter yang tidak memadai, karena dianggap Pemerintah terlalu mahal yang mengakibatkan dokter-dokter Indonesia tidak dapat mengaplikasikan keilmuannya. Oleh karena itu, pendidikan dunia kedokteran harus ditingkatkan tidak hanya secara keilmuan. Namun, dengan fasilitas yang memadai juga, sehingga dokter-dokter Indonesia dapat mengaplikasikan ilmunya lebih baik dengan adanya teknologi pendukung dan ketika para dokter sudah menguasai teknologi, maka negara Indonesia dapat mengikuti Leveling Competence yang dilakukan oleh MEA agar masuk ke dalam kategori negara maju.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan