Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan terhadap Indonesia Case Based Groups (INA CBG’s) Pengawasan — Komisi 9 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan PERSI, ARSADA, ARSSI, IPMG, GP Farmasi

Tanggal Rapat: 25 Jan 2018, Ditulis Tanggal: 24 Sep 2020,
Komisi/AKD: Komisi 9 , Mitra Kerja: Pengurus PERSI, Pengurus ARSADA, Pengurus ARSSI, Pengurus IPMG, Pengurus GP Farmasi

Pada 25 Januari 2018, Komisi 9 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Pengurus Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA), Pengurus Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Pengurus International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG), Pengurus Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi dan mengenai Masukan terhadap Indonesia Case Based Groups (INA CBG’s) Pengawasan. RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Dede Yusuf dari Fraksi Partai Demokrat dapil Jawa Barat 2 pada pukul 15:35 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: pelayananpublik.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pengurus PERSI, Pengurus ARSADA, Pengurus ARSSI, Pengurus IPMG, Pengurus GP Farmasi

Pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)

  • Untuk Rumah Sakit (RS) yang melakukan kontak ke PERSI sudah 100%. Sementara itu, RS swasta baru 60%.
  • INA-CBGs sebagai bagian dari JKN:
    • JKN terbukti menjadi revolusi besar bidang pembiayaan kesehatan di Indonesia.
    • Dalam 4 tahun, JKN telah berimbas pada 7 sub-sistem tersebut -> revolusi.
    • INA-CBGs adalah bagain atau sub-sistem dari JKN. Sistem CBGs telah disiapkan sejak 2006 dan digunakan di Indonesia sejak 2008 dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
  • Pasien suka tertahan di RS soal biaya. PERSI meminta maaf dan mengatakan terkadang politik juga bermain dalam kasus penahanan pasien.
  • Pengalaman sedih PERSI dahulu :
    • Sarkastik "orang miskin dilarang sakit".
    • Inflasi kesehatan bisa 2 kali lipat.
    • Harga obat dan alat kesehatan sulit dikendalikan.
    • Kecurigaan moral hazard dalam pelayanan kesehatan.
  • Penerapan sistem INA-CBGs selama 4 tahun dipengaruhi costing, coding, dan fiskal sehingga muncul tarif JkN.
  • Saat ini sudah banyak input, tapi masih kebingungan untuk menghitung cost setiap RS. Nanti PERSI akan dibantu oleh WHO untuk menghitung cost setiap RS.
  • PERSI mendukung dengan cara sosialisasi ke RS seluruh Indonesia untuk mengisi data cost yang benar. Hal ini dilakukan dengan harapan data yang masuk ke Kemenkes adalah data yang benar.
  • SIkap dan pandangan PERSI:
    • PERSI mendukung partisipasi RS agar data costing lebih lengkap dan representatif.
    • PERSI mendukung proses pengolahan data klaim di RS, sepenuhnya dikelola oleh Kemenkes.
    • Data costing harus diperbaiki berbasis pada Hospital-based Rate (HBR) sehingga lebih mendekati biaya yang sesungguhnya secara efisien.
    • Pertimbangan fiskal bukan merupakan faktor utama, seharusnya basis data costing dan coding sebagai penentunya.
  • Penerapan sistem INA-CBGs selama 4 tahun:
    • Costing: Diperbaiki dengan unit cost. Akurat menuju HBR yang representatif.
    • Coding: Rehabilitasi.
    • Fiskal: Kecukupan dan komitmen.
    • Hasil: Tarif JKN -> ruang urun biaya, Coordination of Benefit (CoB), satu kelas standar.
  • Kapasitas manajemen penampung obat di tiap RS sampai saat ini juga terus diperbaiki.
  • Subsistem dalam pelaksanaan JKN terdiri dari:
    • Tarif JKN.
    • Obat atau alat kesehatan.
    • Fasilitas kesehatan atau SDM.
  • Kesimpulan dan harapan PERSI:
    • INA CBGs adalah pilihan terbaik saat ini dengan syarat harus terus diperbaiki klasifikasi dan groupingnya.
    • Penerapan INA CBGs seharusnya berbasis pada data coding dan costing, bukan karena kecukupan fiskal.
    • Perbedaan tarif dalam INA CBGs berbasis pada HBR, bukan semata regionalisasi dan indeks keekonomian.
    • Kekurangan alokasi Fiskal dikompensasi dengan insentif pajak, lur biaya, CoB dan subsidi Pemerintah.
    • Kecepatan dan ketepatan waktu pembayaran sangat membantu RS dalam memberikan pelayanan yang baik kepada peserta.

Pengurus Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA)

  • ARSADA dengan senang hati memberikan bantuan atau masukan kepada Pemerintah. Di Indonesia, ada 730 Rumah Sakit Daerah (RSD) berdasarkan data per 22 Januari 2018. 77% RS daerah wajib melayani pasien JKN.
  • Perubahan frontal RSD menurut PP No. 18 Tahun 2016:
    • Lembaga Teknis Daerah (LTD), menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah -> dikhawatirkan birokrasi lebih panjang -> mempengaruhi pelayanan.
    • Lembaga struktural menjadi organisasi fungsional -> pengaruh pada tata kelola RS dan tata kelola klinis.
  • Data RS Indonesia berdasarkan kepemilikan:
    • RS Pemerintah: 952.
      • Kemkes: 33.
      • Pemda Provinsi: 137.
      • Pemda Kabupaten: 509.
      • Pemda Kota: 84.
      • Kementerian Lain: 84.
      • TNI/Polri: 171.
      • 77% RS Pemerintah adalah RSD yang wajib melayani JKN (730 RS).
      • Sebagian RSD adalah “RS Pendidikan”.
    • RS Swasta:
      • Swasta/lainnya: 1.773.
      • BUMN: 60.
  • 19,68% RSD sebagai RS rujukan:
    • 110 RS rujukan regional adalah RSD semua.
    • 20 RS rujukan provinsi adalah RSD semua.
    • 14 RS rujukan nasional -> 4 diantaranya adalah RSD.
  • Diharapkan perubahan frontal ini tidak menurunkan kualitas RS terhadap pelayanan pasien.
  • Peraturan Perundangan:
    • UU Keuangan Negara.
    • UU Kesehatan.
    • UU Rumah Sakit.
    • UU Pemerintahan Daerah.
    • UU Lingkungan Hidup.
    • UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
    • UU Aparatur Sipil Negara (ASN).
    • …… dll UU.
    • RSD diatur oleh 6 Kementerian:
      • Kemenkes.
      • Kemendagri.
      • Kemenkeu.
      • KemenLHK.
      • Kemen PUPR.
      • Kemeneg PANRB.
  • Saat ini, peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam JKN belum diatur jelas kewenangannya.
  • Daerah dengan fiskal kecil tidak diminati dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
  • Jika dibandingkan di Jepang, dokter yang bekerja di puskesmas kota pendapatannya 50.000.000 per bulan. Sedangkan saat bertugas di pulau kecil pendapatannya 150.000.000 per bulan. Berbeda dengan di Indonesia.
  • RS yang 27% belum Badan Layanan Umum (BLU), maka pendapatan kasnya harus disetor dan keuangannya tidak fleksibel.
  • Penggunaan APBD sudah terjadi efisiensi di tahun ini. Beberapa kabupaten diamati untuk penggunaan Perdanya.
  • Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telat membayar bukan hanya hitungan minggu, tapi ada juga yang tahunan.
  • Daerah yang belum tersedia pelayanan kesehatannya dapat dispensasi. Di Papua, untuk mengirimkan bantuan masih dengan jalur udara.
  • Kemampuan pelayanan dan pemerataan pelayanan:
    • RSD wajib melayani peserta JKN.
    • Pendapatan tenaga kesehatan di RSD “berbasis klaim” -> RS dengan klaim kecil (biasanya RSD tersebut berada di daerah dengan kemampuan fiskal rendah) tidak diminati.
    • Daerah belum tersedia fasilitas kesehatan -> Dana Kompensasi (Pasal 23 UU No, 40 Tahun 2004) -> belum terealisasi.
    • Pelayanan ambulans dan pelayanan mobil jenazah: terutama kawasan timur dan kepulauan.
  • Pelayanan RS baru bisa dirasakan 2 bulan dari saat pembayaran dan itu masih sangat kecil jumlahnya.
  • Tantangan pelayanan JKN ke depan:
    • Pelayanan ambulans dan mobil jenazah.
    • E-konsultasi perlu segera diatur (aspek hukum dan tarif).
    • Pengendalian biaya: perkuat preventif promotif.
    • Pemerataan pelayanan yang berkeadilan (daerah dengan fiskal kecil dilayani dokter spesialis).
    • Perubahan tata Pemerintahan: bagaimana mengatur RSD sebagai UPT yang memiliki Otonomi (Pemberlakuan PP No. 18 Tahun 2016).
  • Pelaksanaan program JKN bertumpu penuh pada daerah, yaitu puskesmas dan RSD.
  • Simpulan:
    • RSD yang belum BLUD mengikuti sistem pengelolaan keuangan daerah, pendapatan dari BPJS Kesehatan masuk sebagai pendapatan daerah yang tidak dapat digunakan langsung -> berpengaruh pada layanan JKN.
    • JKN: Efisiensi belanja obat, tanpa menurunkan mutu.
    • Kriteria daerah yang belum ada faskes: belum jelas! (kawasan timur).
    • Pembagian urusan kesehatan yang belum jelas berpengaruh pada beban RS.

Pengurus Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI)

  • Perbedaan tarif RS swasta dan Pemerintah harus disetarakan.
  • RS swasta mendukung program Coordination of Benefit (COB).
  • Asuransi komersial bisa menjadi single atau second player.
  • Kebijakan COB hanya untuk naik kelas.
  • Pasien-pasien perusahaan berharap COB fleksibel.
  • Saat ini, RS swasta mengalami kendala klaim BPJS. Ada keterlambatan pembayaran karena dana operasional terlambat.
  • Pelayanan RS tidak bisa optimal karena obat kosong.
  • RS swasta sangat berharap kenaikan tarif INA-CBGs.
  • Tarif ICU sangat kecil sekali.

Pengurus International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG)

  • Tentang IPMG:
    • Organisasi nirlaba yang terdiri dari 26 perusahaan farmasi internasional berbasis riset beroperasi di Indonesia.
    • Sejak tahun 1999 memperkenalkan lebih dari 900 obat untuk mengobati kanker, penyakit menular, penyakit kardiovaskular, dan penyakit lainnya.
    • Anggota IPMG yang beroperasi di Indonesia mempekerjakan lebih dari 12.000 orang.
  • Misi IPMG: Berperan aktif sebagai mitra para pemangku kepentingan sektor kesehatan.
  • IPMG banyak memberikan masukan terkait JKN. IPMG juga bekerja sama dengan Kantor Staf Kepresidenan (KSP) untuk memberikan masukan implementasi JKN.
  • Permasalahan:
    • Tarif INA CBGs rendah.
    • Tidak ada dasar yang jelas untuk menentukan tarif INA CBGs.
    • Perlakuan tidak sama antara RS swasta dan Pemerintah.
    • Pemantauan pelaksanaan pengumpulan data INA CBGs.
    • Belum ada sinergi antara INA CBGs dengan Panduan Praktik Klinis (PPK).
  • RS mengatakan ada keterlambatan pembayaran. Sedangkan menurut BPJS Kesehatan bahwa data dari RS belum lengkap.
  • Bukan IPMG tidak supply tapi karena tidak dibayar, maka IPMG tidak mengirim lagi.
  • IPMG menyarankan transparansi dan kejelasan terhadap dasar penentuan tarif INA CBGs antar daerah dan tipe RS yang berbeda.
  • Rekomendasi dari IPMG:
    • Ada reguler review dan perbaikan tarif INA CBGs.
    • Sinergi INA CBGs dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan clinical pathway.
    • Ada transparansi penentuan tarif INA CBGs.
    • Berikan fair treatment untuk RS swasta.
    • Perlu peningkatan pemantauan penerapan.
  • Evaluasi penggunaan obat-obat katalog harus dari e-katalog, bukan dari di luar itu.
  • Kalau dilihat kategorisasi JKN adalah obat generik dan branded generik.

Pengurus Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi

  • GP Farmasi tidak pernah diikutsertakan dalam INA CBGs sehingga pengetahuan GP Farmasi sangat minim.
  • Apakah obat sudah benar-benar memenuhi standar dalam satu rangkaian pengobatan?
  • Keikutsertaan RS swasta menimbulkan kompleksitas yang sangat tinggi. Selama ini, dalam Rencana Kerja Operasional (RKO) yang selalu menjadi masalah utama adalah penyediaan obat.
  • Obat yang dibeli dengan e-katalog tapi dijual dengan harga reguler, bisa dijadikan bahan pemikiran mengenai monitoring evaluasi dan pencegahannya.
  • Pemerintah selalu memotong PPN 10%. Padahal, GP Farmasi belum menerima uang dari distributor obat sehingga menjadi kesulitan dalam proses restitusi.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan