Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pelantikan Antar Waktu (PAW) Anggota DPR-RI dan MPR-RI Sisa Jabatan 2019-2024, Pengambilan Keputusan terhadap RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Pendapat Fraksi-Fraksi terhadap RUU Usul Inisiatif Komisi 2 DPR-RI, dan lain-lain — Paripurna DPR-RI ke-37

Tanggal Rapat: 12 Apr 2022, Ditulis Tanggal: 26 Apr 2022,
Komisi/AKD: Paripurna , Mitra Kerja: Ketua Panja RUU tentang TPKS dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA)

Pada 12 April 2022, DPR-RI menyelenggarakan Rapat Paripurna mengenai Pelantikan Antar Waktu (PAW) Anggota DPR-RI dan MPR-RI Sisa Jabatan 2019-2024, Pengambilan Keputusan terhadap RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Pendapat Fraksi-Fraksi terhadap RUU Usul Inisiatif Komisi 2 DPR-RI, dan Persetujuan Perpanjangan Waktu Pembahasan terhadap beberapa RUU. Rapat Paripurna ini dibuka dan dipimpin oleh Puan Maharani dari Fraksi PDI-Perjuangan dapil Jawa Tengah 5 pada pukul 10:22 WIB. Menurut catatan Sekjen DPR-RI, Rapat Paripurna ini telah dihadiri secara fisik 51 orang, virtual 225 orang, dan izin 35 orang. (ilustrasi: nasional.tempo.co)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Ketua Panja RUU tentang TPKS dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA)

Agenda Pertama:

Pelantikan Antar Waktu (PAW) Anggota DPR-RI dan MPR-RI Sisa Jabatan 2019-2024

Puan Maharani (Fraksi PDI-P, Jawa Tengah 5) memimpin Pelantikan Antar Waktu (PAW) Anggota DPR-RI dan MPR-RI Sisa Jabatan Tahun 2019-2024 atas nama Siti Nurizka Puteri Jaya menggantikan Renny Astuti dari Fraksi Partai Gerindra dapil Sumatera Selatan 1.

Agenda Kedua:

Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan terhadap RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

  • Willy Aditya (Fraksi Partai NasDem, dapil Jawa Timur 11) membacakan Laporan Baleg terkait proses pembahasan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
    • Salam sejahtera untuk kita semua, RUU ini terdiri dari 93 Pasal, Pimpinan Bamus DPR-RI sudah menginstruksikan kepada kami untuk membahasnya dan Baleg secara marathon membahas satu persatu mulai dari 24 Maret 2022 dan ini sebuah pembahasan padat.
    • Kita bersama merealisasikannya RUU ini dengan akurat dan transparan, kita berupaya sebagai komitmen politik yang besar untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia dari beberapa kelompok masyarakat sipil.
    • Beberapa hal yang progresif dari RUU ini, yaitu berpihak dan berperspektif pada korban, bagaimana aparat memiliki legal standing yang sejauh ini belum ada, lalu ini merupakan kehadiran negara yang melindungi korban kekerasan seksual.
    • Negara hadir dalam bentuk dana kompensasi, RUU ini hadir untuk dana bantuan korban dan kita bersama hadir untuk melindungi korban dan masyarakat Indonesia seutuhnya.
    • Melalui forum ini kami meminta persetujuan Rapat Paripurna dapat disahkan menjadi undang-undang, karena penantian golongan perempuan dan kaum disabilitas dari para predator kekerasan seksual yang saat ini masih bergentayangan.
    • Ini adalah sebuah UU yang menjadi kado Hari Kartini, inilah sebuah capaian kita bersama. Terima kasih kepada seluruh anggota di Badan Legislasi DPR-RI, di sini ada gugus tugas dari Pemerintah.
    • Semoga ini adalah langkah awal untuk menjunjung tinggi martabat perempuan dan anak Indonesia, serta ini tidak terlepas dari media dan TV Parlemen, rapat ini disiarkan secara live dan tidak ada yang ditutup-tutupi guna sebagai sebuah integritas.
  • Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA) menyampaikan Pendapat Akhir Pemerintah mewakili Presiden RI atas RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
    • Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberikan kesempatan dan kekuatan untuk melanjutkan ikhtiar dan pengabdian kita kepada bangsa dan negara.
    • Sebagaimana diketahui bersama bahwa RUU TPKS telah diselesaikan pembahasannya dalam Pembicaraan Tingkat II dengan keputusan Menyetujui untuk diteruskan ke tahap selanjutnya, yaitu Pembicaraan Tingkat II pada Rapat Paripurna DPR-RI dalam Pengambilan Keputusan untuk disahkan menjadi undang-undang. 
    • Dengan seluruh jerih payah waktu dan tenaga yang telah kita curahkan diiringi perjalanan panjang para korban dan masyarakat sipil pendamping korban sejak tahun 2016 dimana proses penyusunan RUU TPKS yang sebelumnya RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dimulai yang kemudian berhasil dimasukkan sebagai RUU Inisiatif DPR-RI dalam Prolegnas Prioritas tahun 2017 di mana Pemerintah telah menyelesaikan DIM RUU tersebut sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
    • Pada tahun 2019, telah berlangsung beberapa rapat pembahasan RUU antara Panitia Kerja DPR-RI dan Panitia Kerja Pemerintah, namun tidak sampai pada Pengambilan Keputusan Tingkat I.
    • RUU tersebut kemudian masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020. Hal ini berlanjut ke Prolegnas Prioritas 2021, hingga pada Januari 2022 diusulkan sebagai inisiatif DPR-RI melalui Baleg dengan judul RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS.
    • Pemerintah telah melakukan rapat-rapat kerja secara intensif sejak akhir Januari sampai dengan 11 Februari 2022 yang dikoordinasikan oleh Menteri PP-PA sebagai leading sektor bersama dengan Mensos, Mendagri, dan Menkumham selaku Wakil Pemerintah, baik bersama-sama maupun sendiri dalam pembahasan RUU TPKS dengan DPR-RI.
    • Penyusunan pandangan Pemerintah dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) juga melibatkan Kementerian/Lembaga yang bidang tugasnya berkaitan dengan substansi yang diatur dalam RUU.
    • Pembahasan RUU TPKS antara Panja DPR dan Pemerintah dimulai sejak 24 Maret sampai dengan 6 April 2022. Pemerintah maupun DPR telah berupaya optimal menyusun undang-undang yang komprehensif, tidak multitafsir, dan tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Hadirnya undang-undang ini nantinya merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah segala bentuk Kekerasan Seksual, menangani, melindungi, memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin ketidak berulangan terjadinya kekerasan seksual.
    • Inilah semangat kita bersama antara DPR-RI, Pemerintah, dan masyarakat sipil yang perlu terus kita ingat agar undang-undang ini nantinya memberikan manfaat ketika diimplementasikan khususnya bagi korban kekerasan seksual.
    • Hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945.
    • Kekerasan seksual merupakan bentuk dari tindakan kekerasan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia yang bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta yang mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat.
    • Kekerasan seksual merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia suatu kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.
    • Kekerasan seksual yang semakin marak terjadi di masyarakat sesungguhnya memiliki dampak serius bagi korban berupa penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik.
    • Dampak kekerasan seksual dapat mempengaruhi hidup korban dan masa depan korban. Penderitaan berlapis akan dialami oleh korban dari kelompok masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus seperti anak dan penyandang disabilitas. Sampai saat ini, Peraturan Perundang-undangan yang mengatur beberapa bentuk kekerasan seksual masih sangat terbatas dari segi bentuk dan lingkupnya.
    • Peraturan Perundang-undangan yang tersedia belum sepenuhnya mampu merespon fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang di masyarakat.
    • Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap perkara kekerasan seksual juga masih belum memperhatikan hak korban dan cenderung menyalahkan korban. Selain itu, perlu diatur upaya pencegahan dan keterlibatan masyarakat untuk mewujudkan kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.
    • Oleh karena itu, diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana kekerasan seksual yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus, sehingga dapat menjamin kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
    • Pengaturan dalam RUU tentang TPKS antara lain:
      • Pengkualifikasian jenis tindak pidana seksual beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; 
      • Pengaturan hukum acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi; 
      • Pengakuan dan jaminan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejam terjadinya tindak pidana kekerasan seksual yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban. Selain itu, perhatian yang besar terhadap penderitaan korban juga diwujudkan dalam bentuk pemberian restitusi. Restitusi diberikan oleh pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai ganti kerugian bagi korban. Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, negara memberikan kompensasi kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan; dan
      • Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak. 
    • Berdasarkan hal tersebut di atas dan setelah mempertimbangkan secara sungguh-sungguh persetujuan fraksi-fraksi, izinkanlah kami mewakili Presiden dalam Rapat Paripurna yang terhormat ini dengan mengucapkan Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Presiden menyatakan setuju RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk disahkan menjadi undang-undang.
    • Kami ucapkan apresiasi dan terima kasih kepada Pimpinan dan Anggota DPR-RI atas segala komitmen, dedikasi, dan perhatiannya dalam menyelesaikan proses pembahasan RUU ini.
    • Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmat dan kemudahan bagi kita semua dalam menjalankan tugas, karya, dan pengabdian untuk memajukan NKRI yang kita cintai.

Puan Maharani selaku Pimpinan Rapat menanyakan kepada peserta sidang terkait persetujuan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) untuk disahkan menjadi Undang-Undang dan Peserta Sidang Paripurna menyetujuinya.

Agenda Ketiga:

Pendapat Fraksi-Fraksi terhadap RUU Usul Inisiatif Komisi 2 DPR-RI, yaitu:

  • RUU tentang Papua Selatan;
  • RUU tentang Papua Tengah; dan
  • RUU tentang Pegunungan Tengah

Puan Maharani selaku Pimpinan Rapat meminta persetujuan kepada Peserta Sidang agar Pendapat Fraksi-Fraksi diserahkan secara tertulis untuk mempersingkat waktu, kecuali Fraksi Partai Demokrat yang meminta untuk membacakan pendapatnya, dan Peserta Sidang menyetujuinya.

Debby Kurniawan (Fraksi Partai Demokrat, Jawa Timur 10) menyampaikan pandangan Fraksi Partai Demokrat terkait RUU Pemekaran Papua yang terdiri dari Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

  • Dilakukannya pemekaran terhadap Provinsi Papua didasarkan pada Pasal 76 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua menjadi Daerah Otonom dapat dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI.
  • Pemekaran wilayah dapat mewujudkan efektivitas Pemerintah serta untuk mempercepat pemerataan dan kesejahteraan masyarakat meskipun pemekaran merupakan keharusan sejumlah alasannya akan tetapi proses sesuai aturan.
  • RUU ini harus mengacu pada Undang-Undang Daerah dan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Papua, di mana dalam proses pemekaran harus dibicarakan dahulu pada stakeholders terkait. Dalam proses pemekaran Papua ini diperlukan sosialisasi melalui upaya pendekatan.
  • RUU ini juga harus memperhatikan aspirasi masyarakat daerah, landasan utama ini merupakan landasan logis yang komprehensif dalam pendekatan layanan pada masyarakat pada tata kelola dan partisipatif dan rasa memiliki rasa masyarakat seutuhnya.
  • Pemekaran ini berguna untuk mendorong perekonomian masyarakat setempat dan menciptakan prinsip keadilan dan mencapai kesejahteraan yang berkeadilan, sehingga pembentukan Provinsi baru diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat.
  • Pada wilayah induk dan wilayah pemekarannya dapat memperkuat ketahanan nasional. Terkait RUU ini, Fraksi Partai Demokrat memberi catatan sebagai berikut:
    • Fraksi Partai Demokrat berpandangan diperlukan evaluasi pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang implementasinya belum genap satu tahun ini berdampak pada lingkungan hidup masyarakat setempat. Evaluasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus ini dilakukan setiap tahun minimal 3 tahun, sehingga dapat diketahui dampak yang ditimbulkan.
    • Fraksi Demokrat meminta agar untuk mendengar aspirasi rakyat Papua untuk senantiasa cermat dan berlaku adil karena akan berdampak pada kebiasaan dan adat istiadat masyarakat Papua setelah pemekaran ini tuntas dilakukan.
    • Fraksi Demokrat berpandangan dalam pembentukan pemekaran ini harus mengatur segi keuangan negara jangan sampai negara semakin terbebani dari sisi anggaran yang dikeluarkan. Mencermati situasi saat ini pada fiskal dan APBN turun. Dalam hal meningkatnya harga kebutuhan pokok, maka Fraksi Partai Demokrat berpandangan bahwa pembentukan provinsi baru harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian serta persoalan di Papua harus segera diatasi. Melalui kerja sama dari Pemerintah Pusat dan Daerah di wilayah Papua ini harus ada sinergitas terbaik untuk kemajuan Provinsi Papua ke depannya.
  • Fraksi Partai Demokrat meminta RUU ini dikembalikan kepada Pengusul sampai benar-benar mendapatkan pandangan yang komprehensif, sehingga cita-cita bersama dalam harmonisasi NKRI dapat terwujud. Semoga DPR-RI dapat melahirkan legislasi yang baik.

Agenda Keempat:

Persetujuan Perpanjangan Waktu Pembahasan terhadap RUU tentang Pelindungan Data Pribadi; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang 5 Tahun 2014 tentang ASN; RUU tentang Hukum Acara Perdata; RUU tentang Praktik Psikologi; dan RUU tentang Landas Kontinen.

Puan Maharani selaku Pimpinan Rapat meminta persetujuan kepada Peserta Sidang bahwa berdasarkan Laporan dari Pimpinan Komisi 1, 2, 3, 10, dan Pansus DPR-RI dalam Rapat Bamus DPR-RI meminta Perpanjangan Waktu Pembahasan terhadap RUU tersebut sampai masa persidangan yang akan datang, dan Peserta Sidang menyetujuinya.

Daftar Anggota DPR-RI yang Meminta Interupsi:

  • Willem Wandik (Fraksi Partai Demokrat, Papua)
  • Johan Rosihan (Fraksi PKS, NTB 1)
  • Luluk Nur Hamidah (Fraksi PKB, Jawa Tengah 4)
  • Al Muzzammil Yusuf (Fraksi PKS, Lampung 1)
  • Dian Istiqomah (Fraksi PAN, DKI Jakarta 3)

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan