Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Penundaan Kenaikan Iuran JKN Bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) - Komisi 9 DPR-RI Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Kesehatan dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Dewan Pengawas dan Dirut BPJS Kesehatan

Tanggal Rapat: 12 Dec 2019, Ditulis Tanggal: 5 Mar 2020,
Komisi/AKD: Komisi 9 , Mitra Kerja: Ketua DJSN

Pada 12 Desember 2019, Komisi 9 mengadakan Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Kesehatan dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Dewan Pengawas serta Dirut BPJS Kesehatan mengenai Penundaan Kenaikan Iuran JKN Bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU). RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Felly Estelita Runtuwene dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dapil Sulawesi Utara pada pukul 14:19 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum.

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Menteri Kesehatan
  • Pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan anggaran sebesar Rp48,7 triliun untuk PBI APBN dan Rp18,9 triliun untuk PBI APBD Tahun 2020.
  • Proyeksi klaim ratio masih menggunakan asumsi sebelum dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 75/2019. proyeksi klaim ratio PBI Tahun 2019 adalah 117%, Tahun 2020 adalah 127,7%, Tahun 2021 adalah 138,4%.
  • Alternatif pertama jika iuran BPJS untuk PBPU dan BP Kelas III tidak naik adalah usulan subsidi pemerintah atas selisih kenaikan iuran JKN pada peserta PBPU dan BP Kelas III tetapi masih menunggu kepastian jawaban dari Menteri Keuangan.
  • Alternatif kedua jika iuran BPJS untuk PBPU dan BP Kelas III tidak naik adalah memanfaatkan profit atas klaim rasio peserta PBI yang diproyeksikan pada tahun mendatang akan ada profit akibat kenaikan iuran JKN berdasarkan Perpres 75/2019, profit ini digunakan untuk membayar selisih kenaikan iuran peserta PBPU dan BP Kelas III.
  • Alternatif ketiga jika iuran BPJS untuk PBPU dan BP Kelas III tidak naik adalah Kementerian Sosial sedang melakukan perbaikan kualitas data PBI sekaligus mengintegrasikan data PBI dengan DTKS (Data Terpadu Program Kesehatan Sosial), terdapat data PBI non-DTKS sejumlah 30.620.052 jiwa yang akan dinonaktifkan oleh Mensos, rencana penonaktifkan data PBI tersebut dapat dimanfaatkan untuk digantikan oleh peserta PBPU dan BP Kelas III yang berjumlah 19.961.569 jiwa.
  • Menkes hanya menghitung klaim ratio dan profitnya, jumlah kelebihan bayarnya bisa dimanfaatkan sebagian untuk subsidi PBPU kelas III dan BP, sehingga tidak mempengaruhi yang lainnya. BPJS berperan dalam mengelola PBI, Menkes belum tahu masalahnya biar BPJS yang menjelaskan, Menkes hanya menghitung, menurut Menkes alternatif 2 & 3 yang paling rasional.
  • Kepala LKPP menyampaikan bahwa e-katalog Sektoral Kementerian Kesehatan diambil alih dan dilaksanakan di LKPP sebagai e-katalog Nasional.
  • SK tim POKJA untuk perpenjangan e-katalog Nasional (tanggal 4 Des 2019) dan POKJA proses e-katalog Nasional 2020-2021 (tanggal 11 Des 2019) telah ditetapkan oleh Deputi Monev dan pengembangan sistem informasi LKPP.

Kepala LKPP
  • Profil katalog elektronik tahun 2018: 73 komoditas tayang, 34 katalog Nasional dan 39 katalog lokal dan sektoral, 203.838 produk, 982 penyedia, transaksi IDR 54,9 triliun.
  • Profil katalog elektronik tahun 2019 (cut off data 29 Nov 2019): 37 komoditas tayang, 22 katalog Nasional dan 15 katalog lokal dan sektoral, 218.072 produk, 1.355 penyedia, transaksi IDR 42.54 triliun.
  • Tidak semua obat tayang di katalog elektronik dikarenakan gagal tender/ negoisasi karena tidak semua obat di FORNAS tersedia di pasar sehingga menyebabkan tidak ada penawaran, HPS belum mencerminkan harga pasar karena penawaran dari penyedia diatas HPS, penambahan/ adendum obat FORNAS diluar masa pemilihan penyedia katalog obat.
  • Permasalahan distribusi obat: pihak yang berkontrak dengan LKPP adalah industri farmasi/pabrikan, pabrikan/ industri farmasi umumnya bukan sebagai distributor, penolakan pengiriman obat oleh distributor dikarenakan pemesan masih memliki tunggakan dari transaksi sebelumnya, beberapa penyedia menerapkan minimum pembelian obat (dalam Rupiah) yang umumnya terjadi di remote area.
  • Permasalahan Rencana Kebutuhan Obat (RKO): RKO yang disampaikan untuk informasi pengadaan belum disertai dengan rencana jadwal pembelian, sebagian besar pengadaan obat oleh K/L/PD dilakukan pada waktu yang hampir bersamaan yakni pada triwulan ke 3 dan 4, penyedia menolak pesanan karena jumlah komitmen sudah terpenuhi, RKO tidak akurat dan tidak ada jaminan bahwa obat yang akan dibeli sesuai dengan RKO.
  • E-katalog dan E-Purchasing alat kesehatan : Penyedia kerap mengirim alkes yang spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang tercantum dalam katalog elektronik; penyedia melakukan pengalihan izin edar produk (AKL/AKD) karena adanya pengalihan kepemilikan pabrikan alat kesehatan (principal) yang dapat dikarenakan adanya merger/ akuisisi perusahaan; belum ada standarisasi alkes untuk digunakan di masing-masing RS, sehingga ragam spesifikasi alkes dan harga di katalog elektronik sangat luas; harga alkes di katalog elektronik masih dianggap lebih mahal dibanding harga diluar katalog elektronik; penyedia mengeluhkan satker memiliki tunggakan tagihan pembayaran terhadap penyedia.
  • Permasalahan pengelolaan katalok elektronik obat & alat kesehatan : Kementerian kesehatan tidak bersedia menjadi pengelola katalog sektoral kesehatan; pengelolaan kembali katalog elektronik obat dan alkes oleh LKPP akan menghambat percepatan penambahan komoditas dan produk pada katalog elektronik; jumlah SDM di Direktorat Pengembangan Sistem Katalog (18 PNS dan CPNS) kurang memadai dibandingkan dengan jumlah produk dan komoditas yang harus dikelola, selain itu SDM LKPP tidak memiliki kompetensi teknis yang memadai terkait produk-produk sektor kesehatan; sudah saatnya pengelolaan katalog elektronik Nasional dilakukan oleh insitusi yang terpisah dari LKPP.
  • LKPP adalah lembaga regulasi pengadaan obat dan alat kesehatan bukan lembaga pengadaan obat dan alat kesehatan.
  • Proses perpanjangan kontrak katalog obat per 10 Desember 2019 : jumlah penyedia yang diundang untuk klarifikasi kualifikasi administrasi dan teknis adalah sebanyak 27 penyedia; jumlah produk yang ditawarkan sebanyak 162 produk dan yang dinyatakan lulus kualifikasi teknis adalah 157 produk , 5 produk tidak lulus kualifikasi teknis karena tidak termasuk di dalam penawaran RKO dari Menkes.
  • Kesimpulan rapat koordinasi LKPP dan Kemenkes (11 Desember 2019) : Mengakhiri Perjanjian Kerjasama (PKS) antara LKPP dan Kementerian Kesehatan tentang penyusunan dan pengelolaan katalog elektronik sektoral Kemenkes; mekanisme peralihan kontrak katalog obat antara penyedia - Kementerian Kesehatan dan antara penyedia - LKPP; untuk peralihan, diperlukan review proses pemilihan penyedia oleh BPKP, Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan dan Inspektorat LKPP;  tim kelompok kerja dan tim teknis pemilihan penyedia didukung oleh personil Kementerian Kesehatan.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan