Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual – Komisi 8 DPR RI Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pakar Psikologi dan Pakar Kesehatan

Tanggal Rapat: 25 Oct 2018, Ditulis Tanggal: 17 Apr 2020,
Komisi/AKD: Komisi 8 , Mitra Kerja: Pakar Psikologi, Dr. Bagus Riyono

Pada 25 Oktober 2018, Komisi 8 DPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pakar Psikologi dan Pakar Kesehatan mengenai masukan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Marwan Dasopang dari Fraksi PKB pada pukul 10:00 WIB.

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pakar Kesehatan, Dr. Dewi Inong Irana, SpKK, FINSDV, FAADV
  • Hubungan seks yang bisa menularkan IMS (Infeksi Menular Seksual) adalah, bukan hanya hubungan kelamin dengan kelamin saja, melainkan: kelamin – anal (dubur/anus), kelamin – kelamin, kelamin – oral (mulut), kelamin – alat, dan kelamin – tangan.
  • Perilaku LSL (lelaki hubungan seks dengan lelaki) berawal dari: menonton pornografi, seks anal, yang disodomi kemudian menjadi kecanduan. Korban cenderung menjadi pelaku, apalagi anak-anak, dan kemudian dilandasi suka sama suka.
  • Hubungan seks melalui “anal” lebih beresiko untuk tertular HIV, 50 kali lebih beresiko.
  • Usia 20-50 tahun lebih banyak tertular AIDS sampai dengan Maret 2017.
  • Proporsi tertular HIV dari akibat seks sesama jenis sebesar 25.8% dan di kalangan waria sebesar 24%.
  • Pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh pornografi terhadap volume korteks prefrontal (otak) bahwa terdapat pengaruh menurunnya fungsi otak dari akibat pornografi.
  • Ada buku pendidikan seks dari Kementerian Kesehatan yang sudah disusupi paham LGBT yang dibiayai oleh NGO luar negeri. Perlu ada buku serupa untuk menangkal hal itu.
  • Diusulkan ada hukuman sosial (agar orang yang sudah melakukan suka sama suka melakukan perilaku seksual dengan sesama jenis dan melalui anal untuk diberikan hukuman sosial berupa mengurusi orang yang sudah terkena AIDS) dan dilakukan rehabilitasi atas mereka.
  • Perlu ada lembaga pemerintah darurat untuk menangani permasalahan ini.
  • Bersedia membantu secara sukarela untuk menyiapkan modul terkait pendidikan seks yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila untuk menanggulangi masalah di atas.

Pakar Psikologi, Dr. Ikhsan Gumelar
  • Memberikan highlight mengenai adanya frasa “Hasrat Seksual” pada RUU.
  • Terdapat juga komunitas atau group Gay Islami di Facebook, lesbian di Papua, dan banyak lagi.
  • Pengaruh pornografi terhadap kelainan seksual sangat tinggi. Hal ini tidak sebanding dengan jumlah psikologi, tetapi harus ada kebijakan yang bersifat top-down berupa kebijakan dari pemerintah, dan adanya peran dari keluarga yang sehat.
  • Masalah LGBT tidak bisa terlepas dari pengaruh internasional, seperti parade LGBT di Kanada yang dipublikasikan secara luas hingga melibatkan anak-anak.
  • Adanya kekosongan hukum dalam mengatur perilaku tersebut di Indonesia.
  • Dalam buku PPDGJ III, ICD-10, dan DSM merupakan buku-buku acuan psikologi dan psikiater. Pada buku acuan psikologi awal disebutkan bahwa LGBT adalah kelainan kejiwaan, tetapi kemudian terdapat revisi pada tahun 1973 yang mengklasifikannya sebagai bukan kelainan jiwa. Hal itu karena berdasarkan voting bukan berdasarkan riset. Faktor inilah yang sangat problematik dan membawa perubahan pada ilmu psikologi.
  • Kasus kanker anal lebih banyak tertular pada homoseksual.
  • Memberikan tanggapan atas Pasal 135 RUU yang menyebutkan mengenai definisi umur anak. Terdapat ketidaksinkronan antara definisi umur pada dunia hukum dan definisi anak secara psikologis.
  • RUU PKS ini banyak yang tidak relevan dengan muatan budaya lokal.

Pakar Psikologi, Dr. Bagus Riyono
  • Pada ilmu psikologi, di Amerika dan Inggris banyak terjadi masalah perilaku seksual di luar hubungan suami-istri karena faktor “loneliness”.
  • Di Rusia, Undang-undang tentang penyimpangan seksual ada dan sudah berlaku.
  • Kekerasan seksual sebenarnya sudah diatur dalam KUHP terkait perkosaan dan perilaku sejenis dam dalam UU KDRT.
  • RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agak kurang jelas arahnya, maksud pengaturannya untuk apa. Dicurigai ada agenda tersembunyi, misalnya:
    • Naskah Akademik dari RUU PKS adalah feminisme yang tidak relevan dengan Indonesia. Feminisme bukan masalah kita, tetapi masalah yang terjadi di luar negeri. Dengan demikian, masalah ini bisa disebut subversif.
    • Dalam Pasal 1 Ayat 1, dalam definisi kekerasan seksual tidak ada norma tentang perkawinan atau hubungan keluarga. Pasal ini sudah bertentangan dengan Pancasila dan UU Perkawinan.
    • Frasa “dan/atau perbuatan lain” bisa berakibat pada sunat atau khitan akan dianggap kekerasan seksual.
    • Frasa “bertentangan dengan kehendak” mengandung makna suka sama suka, tidak ada ikatan perkawinan tidak masalah. Dan ini bermasalah, tidak sesuai dengan agama dan Pancasila.
    • Frasa “Ketimpangan relasi gender” bermakna mengingkari hubungan suami-istri, dan hal ini bertentangan dengan UU Perkawinan, ajaran agama, dan Pancasila. Membongkar peran suami dalam suatu keluarga.
    • Kesimpulan dari RUU PKS adalah:
      • maksud dari RUU ini bermasalah sejak hulunya,
      • permasalahan yang diangkat oleh RUU PKS sudah diatur dalam UU lain (ada maksud tersembunyi),
      • jika disetujui akan menimbulkan masalah lebih besar karena semangatnya adalah liberalisasi hubungan seksual (di antaranya berpotensi membolehkan paedofil asal suka sama suka).
      • Tidak usah diteruskan pembahasan RUU ini.
      • Yang perlu dibahas adalah RUU Ketahanan Keluarga bukan RUU PKS. Di Yogyakarta dan Depok sudah disetujui Perda Ketahanan Keluarga, sehingga perlu payung hukum dalam level nasional.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan