Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Tindak Pidana Terorisme — Panitia Khusus DPR-RI Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) RI dan Mahkamah Agung

Tanggal Rapat: 13 Oct 2016, Ditulis Tanggal: 17 Feb 2021,
Komisi/AKD: Panitia Khusus , Mitra Kerja: Lemhanas RI dan Mahkamah Agung

Pada 13 Oktober 2016, Panitia Khusus DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Lemhanas RI dan Mahkamah Agung mengenai Pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Tindak Pidana Terorisme. RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Supiadin Aries Saputra dari Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) daerah pemilihan Jawa Barat 11 pada pukul 10:00 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: mediaindonesia.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Lemhanas RI dan Mahkamah Agung

Lemhanas RI

  • Pada dasarnya ada tiga materi pokok untuk menyediakan payung hukum bagi aparat untuk tindakan preventif.
  • Ini sebagai mewadahi ciri-ciri lintas sektoral dan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI).
  • Untuk itu perlu pemisahan antara kewenangan kebijakan dalam penanganan tindak pidana terorisme.
  • Upaya statis penangannan terorisme harus dilakukan secara terpadu dan harus dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri.
  • Tugas organik TNI yaitu menegakan keamanan negara, dilaksanakan berdasarkan kebijakan politik negara.
  • Apa yang terjadi dan tidak terjadi adalah tanggung jawab kepala daerah sebagai pemerintah daerah.
  • Tugas perbantuan TNI tidak perlu dimasukan dalam pembahasan RUU Tindak Pidana Terorisme.
  • UU nomor 15 tahun 2003 harus diperkuat dengan tindakan preventif, perlu penguatan peran deradikalisasi.
  • Ini perlu dilakukan sinkronisasi terkait UU lainnya dan perlu penambahan peraturan terkait cyber terorism.
  • Untuk itu perlu penambahan peraturan partisipasi masyarakat dalam memberantas tindak pidana terorisme ini.

Mahkamah Agung

  • Hukum pidana tidak mempunyai kemampuan gejala klausatif atas tindak pidana terorisme.
  • Perubahan peraturan UU nomor 15 tahun 2003 harus ada keterpaduan denga hukum pidana.
  • Keterlibatan kepolisian dapat menjadi garda terdepan dalam menumpas terorisme.
  • UU yang kita buat adalah untuk mengantisipasi bila terjadi tindak pidana terorisme dan UU tidak boleh berlaku surut.
  • Kami tidak melihat penyidikan dan penuntutan selama enam bulan apakah sebaiknya kita mengacu saja pada KUHAP ini.
  • Ancaman kekerasan dan kekerasan mempunyai akibat yang berbeda.
  • Pasal 12b ayat 3 ini pasal makar, kalau terjadi di dalam negeri ini tumpang tindih namun kalau di luar negeri ini relevan.
  • Terorisme ini bukan hanya isu nasional melainkan internasional dan bentuknya sudah meluas.
  • Mengenai konvensi internasional sebenarnya ada beberapa pengaturan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam hal memberantas terorisme.
  • Pasal 15 ayat 2 ini yang bisa digabungkan di sini konsep hukumnya permufakatan jahat dan percobaan.
  • Pasal 25 yaitu mengenai batas waktu melakukan penahanan oleh penyidik dan penuntut umum.
  • Apakah lamanya masa penahanan tidak terlalu memberikan keleluasaan kepada penyidik.
  • Pasal 28 ini penangkapan 30 hari, di dalam KUHAP satu hari, di dalam UU Tindak Pidana Terorisme 7 hari dan apa dasar pemikiran menjadi 30 hari.
  • Supaya penanganan ini bermartabat dan manusiawi seharusnya harus didampingi penasihat hukum.
  • Apa yang dilakukan Amerika oleh Guantanamo itu diprotes oleh seluruh dunia.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan